Ia menilai penurunan harga tersebut tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas.
"Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi," ujar Isnur.
Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil bahwa harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi mencapai Rp2,5 juta.
Baca juga: Aturan Naik Pesawat Berubah, Penumpang Tak Wajib Pakai Tes PCR, Cukup Antigen
Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000. Sepuluh bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India.
Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.
Pihaknya melihat penurunan harga dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya.
"Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi," terangnya.
Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.
Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. (Tribun Network/nas)