Menurutnya, jika pemerintah semangatnya membatasi mobilitas masyarakat dalam rangka liburan Natal dan tahun baru, lebih baik membuat edaran larangan mudik dengan tegas.
Hal tersebut dinilai lebih efektif membatasi masyarakat bepergian.
"Bagaimana cara membedakan masyarakat yang bepergian di atas dan kurang dari 250 Km di lapangan."
"Apakah tidak menimbulkan kemacetan dan permasalahan transportasi darat lainnya?," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu.
Selain itu, menyikapi harga tes PCR yang berubah-ubah, Irwan mengingatkan pemerintah jangan sampai jadi marketing atau terjebak kongsi bisnis dengan perusahan pengadaan maupun penyedia PCR di tengah pandemi Covid-19.
Baca juga: Aturan Terbaru Naik Kereta Api Jarak Jauh November 2021, Masa Berlaku Hasil Tes PCR Jadi 3x24 Jam
Apalagi, sampai membuat regulasi yang menimbulkan rakyat menderita dan hanya menguntungkan para pengusaha PCR.
"Itu sangat dzalim di tengah penderitaan mereka. Masih banyak cara membatasi mobilitas masyarakat tanpa harus mewajibkan penggunaan PCR," tutur Irwan.
2. Pelaku Bisnis Bus: Aturan 'Dagelan'
Sementara itu, pihak pelaku bisnis penyedia jasa transportasi bus juga ikut menyikapi aturan wajibnya PCR/antigen untuk pelaku perjalanan darat minimal 250 Km itu.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan menilai aturan tersebut sekdar dagelan.
"Kelucuan yang baru lagi sih menurut saya. Apa bedanya 250km sama 2500 km? Aturan ini menurut saya tidak akan menghentikan masyarakat untuk bergerak," kata Sani, Senin (1/11/2021), melansir Tribunnews.com.
Sani menilai masyarakat masih bisa mencari moda yang tidak terdeteksi yaitu kendaraan pribadi dan angkutan illegal.
"Pada saat penerapan PPKM yang lalu kita sama-sama tau kalau pemerintah berhasil untuk mempersulit kami operator berizin resmi dan berhasil juga mencetak angkutan illegal lebih banyak," jelas dia.
Masyarakat pastilah keberatan kalau harus membayar PCR sebesar Rp275 ribu sedangkan tarif bus hanya Rp150-Rp250 ribu rute Jakarta - Jawa Tengah.