Pada saat itu, organisasi PRI adalah organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya.
Baca juga: Peringatan Hari Pahlawan 10 November: Tema, Logo, Makna, dan Pesan Perjuangan Pahlawan Nasional
Di Jakarta, Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri dengan tidak memulai konfrontasi bersenjata.
Kemudian, Bung Tomo kembali ke Surabaya.
"Kita (di Surabaya) telah memperoleh kemerdekaan, sementara di ibukota, rakyat Indonesia terpaksa harus hidup dalam ketakutan," katanya seperti dicatat sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS.
Pada bulan Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu pemimpin yang sangat penting.
Hal ini dikarenakan ia berhasil menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa.
Pada 9 November, dikeluarkannya ultimatum yang ditunjukkan kepada para staf Gubernur Soerjo yang berbunyi demikian:
- Pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus menyerahkan diri paling lambat pukul 18.00 di hari itu dengan tangan di atas kepala.
- Kedua, seluruh senjata harus diserahkan.
Lalu, pembunuh Mallaby menyerahkan diri.
Apabila kedua hal tersebut diabaikan, Sekutu akan mulai menyerang pada pukul 06.00 pada keesokan harinya.
Seperti ultimatum terdahulu, pamflet berisi ultimatum disebar lewat udara.
Namun, apabila ultimatum tersebut tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul 06.00, Inggris akan mulai menggempur.
Kemudian, pada saat pertempuran di Surabaya 10 November 1945, Bung Tomo tampil menjadi orator ulung di depan corong radio.
Ia membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara Inggris dan NICA-Belanda.
Isi pidato Bung Tomo
Berikut ini bunyi dari pidato Bung Tomo yang pada saat itu berhasil membakar semangat rakyat Surabaya untuk melawan sekutu demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bismillahirrohmanirrohim..
Merdeka!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangan tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara.
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.
Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.
Saudara-saudara kita semuanya. Kita Bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.
Hai tentara Inggris!
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, Maka kita akan ganti menyerang mereka itulah kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!
Pasca kemerdekaan
Tahun 1950, Bung Tomo sempat terjun dalam dunia politik dan kemudian menghilang dari panggung politik karena ia tidak merasa bahagia terjun di dunia politik.
Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Bung Tomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Kemudian awal tahun 1970, ia kembali dan mempunyai pandangan pendapat yang berbeda dengan pemerintahan Orde Baru.
Ia berbicara dengan keras terhadap program-program yang dijalankan oleh Suharto.
Lalu, pada 11 April 1978, ia ditahan oleh Pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras tersebut.
Setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto.
Akhir hidup
Pada 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah, saat sedang menunaikan ibadah haji.
Pemakaman Bung Tomo berbeda dengan tradisi dengan pemakaman para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci.
Biasanya, jenazah harus dimakamkan di tanah suci, tetapi jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air.
Jenazah Bung Tomo juga tidak dimakamkan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Gelar sebagai Pahlawan Indonesia
Pada 9 November 2007, Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) mendesak pemerintah agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo.
Setelah didesak, akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan untuk Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.
Pada tanggal 2 November 2008, keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh di Jakarta.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)
Artikel lainnya terkait Hari Pahlawan