Sedangkan over kriminalisasi adalah penggunaan sanksi pidana yang melampaui batas. Dalam kaitannya dengan jabatan notaris, tidak ada ketentuan pidana diatur dalam jabatan UU notaris, sehingga kriminalisasi secara potensial terjadi berdasarkan undang-undang lain.
Dalam konteks penegakan hukum, sebagai seorang notaris tidak dapat dipastikan sebagai tersangka, namun jika ada notaris indikasi tindak pidana yang dilakukan dapat dipastikan akan diminta sebagai saksi.
Baca juga: Notaris Tersangka Kasus Mafia Tanah Nirina Zubir Langsung Ditahan Usai Serahkan Diri ke Polda Metro
“Jadi kriminalisasi dalam proses tersebut sebagai tersangka bukan sebagai saksi, namun harus ditemukan adanya maksud maksud jahat atau mensrea,” tuturnya.
Dalam konteks melindungi profesi notaris, pemanggilan notaris baik sebagai saksi maupun tersangka, selain ditentukan dalam KUHAP itu juga diatur dalam UU Jabatan Notaris.
Menurut Dr. Dewi Tenty, notaris yang juga inisator kelompencapir, diskusi diselenggarakan lantaran adanya pemberitaan yang massif profesi notaris yang dikaitkan dengan mafia tanah. Bahkan terjadi kasus kriminalisasi yang menimpa notaris&PPAT, seperti halnya sebuah puncak gunung es, masih banyak lagi kasus-kasus yang dialami notaris di berbagai daerah.
“Salah satu faktornya yang kami lihat adala UU Jabatan Notaris dinilai mengatur terlalu rinci tentang kewajiban dan larangan terhadap notaris sehingga menjadikan bumerang bagi notaris itu sendiri,” jelasnya.
UUJN sebagai payung hukum bagi notaris hendaknya dikaji kembali dengan merevisi pasal-pasal yang rentan terhadap pidana bagi Notaris. Harus pula segera proses legislasi UU tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam pandangan Dewi Tenty, diskusi ini menghasilan point penting diantaranya adalah sinergi dari pengurus organisasi profesi dengan majelis pengawas notaris mulai dari tingkat daerah, wilayah sampai pusat, agar perlindungan terhadap notaris maksimal.
“Harmonisasi antar lembaga juga makin penting, mengingat kini merebak biro jasa yang dibuat dengan KLBI yang sudah di tetapkan oleh BKPM tentang pengurusan badan hukum dan pertanahan yang notabene merupakan domain notaris&PPAT sebagai pejabat umum,” tuturnya.
Kelompencapir juga mencatat perlunya dibuat suatu pemahaman antara notaris dengan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk menyamakan presepsi tugas dan wewenang notaris sebagai pejabat umum.
Bahwa akta notaris&PPAT adalah akta otentik, di mana sebagai alat bukti, akta itu “sudah berbicara”, sehingga jika terjadi permasalahan kemudian hari, tak perlu lagi keterangan lain dari notaris&PPAT, yang bahkan sering menyeret notaris&PPAT pada kriminalisasi.
Terkait penahanan notaris&PPAT tidak diperlukan jika terjadi suatu kasus. Sebab, alasan penahanan menurut UU hanya jika dikhawatirkan yang bersangkutan melarikan diri dan menghilangkan alat bukti. Notaris tak mungkin seperti itu, karena kantornya jelas dan ada data sentralnya baik di Kemenhumham maupun di Badan Pertanahan Nasional. Akta notaris dalam suatu proses pidana hanya diperlukan pada tahap “penyelidikan”.
Baca juga: BREAKING NEWS, Polisi Tangkap Notaris Tersangka Kasus Mafia Tanah Nirina Zubir, Satu Masih Buron
Dewi Tenty juga meminta agar diberlakukan asas ultimum remedium, hukum pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Notaris&PPAT sebagai pejabat umum harus memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat berdasarkan UUJN dan Peraturan Jabatan PPAT, seharusnya melaksanakan pekerjaannya lebih ke arah perdata, atau administrasi, bukan kepada hukum pidana.
“Serta asas restoratif justiceyang merupakan alternatif dalam hukum pidana yang bertujuan utk membangun peradilan pidana yang peka tentang masalah korban, bukan penekanan pada hukuman,” tuturnya.