Sehingga, kata dia, ada kemungkinan isi UU Ciptaker tetap berlaku selama dua tahun tersebut.
"Tegasnya, UU Ciptaker mungkin masih berlaku dalam maksimal dua tahun itu, sehingga objek uji materi seharusnya masih ada, dan menjadi tidak konsisten alias ambigu ketika dikatakan 'kehilangan objek' untuk diuji isi UU tersebut," katanya.
Kemudian ambiguitas ketiga.
Denny menilai dalam putusannya MK mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas.
Sehingga putusan tersebut menimbulkan multitafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak.
"Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Ciptaker masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Ciptaker tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali," katanya.
Atas dua pendapat itu, Denny mengatakan sebenarnya MK telah mencoba memberikan kejelasan, meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Ciptaker yang 'strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu'.
Pun tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan 'strategis yang dapat berdampak luas'.
"Lebih jauh, tidak pula 'dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru'. Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan 'strategis' dan 'berdampak luas'," tutur dia.
Menurut Denny, dengan pertimbangan tersebut MK secara interpretasi terbalik (a contra rio) memberi ruang bagi berlakunya UU Ciptaker, peraturan pelaksanaan, dan kebijakan yang lahir dari UU Ciptaker itu sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas.
"Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Ciptaker yang tidak strategis dan tidak berdampak luas itu? Kalau jawabannya tidak ada, lalu untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ada, untuk apa pula UU Ciptaker masih berlaku demi hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas," katanya.
Padahal, kata Denny, uji formil telah menegaskan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945.
Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa MK mentoleransi suatu UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi hanya demi pelaksanaan yang sebenarnya tidak strategis dan tidak berdampak luas.
Selanjutnya ambiguitas keempat, Denny menyebut dalam putusannya, Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Ciptaker.