Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap kasus beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat saat ini masih menunggu tindak lanjut penyidikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, pada Kamis (25/11) yang lalu menyatakan bahwa dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM, 4 diantaranya yang terjadi setelah tahun 2000 diproses pemerintah.
Sementara 9 kasus lainnya yang terjadi sebelum tahun 2000 menurut Mahfud menunggu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Baca juga: Mahfud MD Sampaikan Dua Hal Ini ke Panglima TNI, Termasuk Pendekatan Baru Tentang Penanganan Papua
Adapun 4 kasus yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) adalah kasus Wasior tahun 2001, kasus Wamena tahun 2003, kasus Jambu Keupok Aceh tahun 2003 dan kasus Paniai tahun 2004.
Sementara 9 kasus lainnya yang terjadi sebelum tahun 2000, diantaranya peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, kasus Talangsari Lampung tahun 1989, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II di tahun 1998-1999, Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian masus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998, Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998, kasus Simpang KAA tahun 1999, dan kasus Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya terjadi di masa Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989–1998.
Merespons pernyataan Mahfud MD tersebut, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari menjelaskan sesungguhnya tindak lanjut hasil penyelidikan Komnas HAM atas pelanggaran HAM berat masa lalu tidak perlu menunggu keputusan DPR.
"Kejagung dapat menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan HAM dan hukum acara yang berlaku. Keputusan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc dilakukan setelah penyidikan oleh Kejagung dilakukan," katanya kepada wartawan, Senin (29/11/2021).
Ketentuan ini menurut Taufik, merujuk pada Pasal 43 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan:
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang- undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Kemudian, lanjut Taufik, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-V/2007, kata “dugaan” dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan batal serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penjelasan pasal itu awalnya berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.”