News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Asa Para Guru Honorer, Pahlawan yang Ditempa di Negeri Sendiri

Penulis: garudea prabawati
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Siti Fatimah, seorang guru honorer kelas 1 SDN 3 Rejo Binangun saat mengajar murid-muridnya.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Garudea Prabawati

TRIBUNNEWS.COM – Akhir-akhir ini banyak cerita sumbang lantang terdengar dari seluruh penjuru negeri, bersamaan dengan digelarnya seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Guru 2021.

Cerita dari para guru honorer yang terus berjibaku dengan nasib mereka, mencari secercah harapan agar pengabdian mereka dihargai.

Mereka para guru honorer, sang pahlawan yang ditempa di negeri sendiri.

Mereka bertahan bertahun-tahun, belasan bahkan puluhan tahun bekerja mulia dengan upah kecil, mendidik anak-anak bangsa.

Inilah cerita ‘ajaib’ mereka:

Cerita Asa dari Wajo, Sulawesi Selatan

Novel Tri Nuryana Harahap (42) guru honorer di Wajo, Sulawesi Selatan, bersama anak-anak didiknya di SMAN 9 Wajo.

Melewati tantangan dan rintangan menuju ke sekolah tempat saya mengajar, karena lokasinya terpencil, kadangkala berpapasan dengan kawanan gajah liar hingga binatang buas lainnya.”

Cerita tersebut dituturkan oleh Novel Tri Nuryana Harahap (42), guru honorer Sulawesi Selatan, Senin (29/11/2021).

Dirinya mengampu mata pelajaran Agama Islam untuk Kelas X SMAN 9 Wajo.

Novel sudah 20 tahun lebih mengarungi dunia pendidikan, mengajar dari sekolah satu ke sekolah lainnya.

Membimbing anak didik dari berbagai karakter, bahkan kondisi perekonomian.

Perjalanannya berawal dari tahun 2000, saat itu era reformasi, Novel mengampu di sebuah sekolah swasta di Medan, Sumatera Utara yang mayoritas muridnya adalah keturunan Tionghoa.

“Hidup saya sejahtera saat itu, bahkan gaji saya bisa menyentuh Rp 1,7 juta per bulannya, padahal saat itu untuk gaji guru golongan 3a saja masih sekitar Rp 700 ribu,” kata Novel kepada Tribunnews.com.

Hal tersebut membuat Novel sama sekali tidak ‘melirik’ menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sekolah swasta memang memberikan dirinya upah yang besar, di samping memang para muridnya kebanyakan berasal dari keluarga dengan perekonomian menengah ke atas.

Hingga beberapa tahun kemudian, sebuah panggilan hati datang padanya, saat itu dirinya diminta pertolongan untuk menjadi tenaga pendidik di sebuah sekolah yang didirikan oleh Universitas Panca Budi Medan, kampus tempatnya kuliah.

Berbeda dengan sekolah sebelumnya, di sekolah itu dirinya mengajar para anak didik yang kebanyakan berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.

Lantas di tahun 2009 dirinya mengikuti Program Sekolah Satu Atap, Novel pun ditempatkan di sekolah kawasan pelosok di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.

Baca juga: Kisah Guru Honorer di NTT yang Digaji Rp 700 Ribu Per Bulan, Wilfridus Berkebun Pulang dari Mengajar

Novel menceritakan perjuangannya untuk menuju ke sekolah tersebut, menempuh perjalanan selama dua jam dari tempat tinggalnya.

“Kita masuk ke dalam kawasan terpencil, melewati tantangan dan rintangan, masih banyak kawanan gajah hingga hewan-hewan buas,” katanya.

Tidak hanya itu dirinya juga menggunakan transportasi sekedarnya yakni truk buah yang sebenarnya digunakan untuk menuju perkebunan sawit.

Hingga akhirnya para guru yang mengajar di sekolah tersebut dibangunkan tempat tinggal oleh pihak perkebunan.

“Di sekolah tersebut saya sering mengajar sendiri, bahkan saya pernah mengampu hingga 8 kelas sekaligus dari SD sampai SMP, pernah juga saat upacara saya menjadi pembinanya sendiri karena memang kondisinya jauh sekali dan semua guru itu tinggalnya di kota,” tuturnya.

Pengalaman tersebut pun dirangkainya dalam sebuah karya puisi berjudul Nasib Bocah Pedalaman.

Dirinya mengatakan anak-anak didik di pedalaman tersebut memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, mereka juga memiliki impian yang tinggi.

"Anak-anak didik pedalaman ini ingin sekolah tinggi, namun terkendala oleh banyak hal, mereka itu ke sekolah tanpa alas kaki, bahkan tasnya kantong plastik.”

Pengalaman demi pengalaman itulah dirajutnya menjadi buku kumpulan puisi berjudul Balada Seorang Janda.

Singkat cerita lewat buku tersebut menjadi pembuka jalannya berhijrah ke Sulawesi Selatan.

Hingga saat ini.

Sempat Tak Lolos PPPK

Novel Tri Nuryana Harahap (42) guru honorer di Wajo, Sulawesi Selatan, bersama anak-anak didiknya di SMAN 9 Wajo.

Perjuangan 20 tahunnya baru terbayar di tahun 2021, Novel dinyatakan lolos PPPK.

Novel menceritakan melalui PPPK dirinya melamar bukan ke sekolah negeri namun Sekolah Luar Biasa (SLB).

Saat ditanya mengapa dirinya memilih SLB, dirinya pun memberikan alasan yang sangat menyentuh, bahwa hal tersebut adalah cita-citanya sejak dulu, menjadi guru untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.

“Kebetulan formasi PPPK ini ada SLB-nya, maka gayung bersambut jadinya, tanpa pikir panjang saya langsung menuju ke SLB walaupun semua orang mempertanyakannya,” ujar Ketua Forum Guru Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori (GTKHNK) Wajo tersebut.

Baginya mengajar anak-anak berkebutuhan khusus menjadi keistimewaan tersendiri, sekecil apapun ilmu yang diberikan akan lebih mendatangkan manfaat.

“Walaupun saya menjadi orang terkenal punya uang banyak sekalipun saya tetap mau menjadi seorang guru, dengan mengajar ke anak-anak didik itu yang akan mendatangkan amal jariyah, mengalir terus,” imbuhnya.

Dirinya pun berharap ke depan Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan kesejahteraan para guru honorer.

“Belajarlah dari sejarah 'jas merah', jangan sekali-sekali melupakan sejarah, karena berdirinya Indonesia itu ditopang dari adanya para guru, pengorbanan para guru.”

Cerita Asa dari Gunungkidul, DIY

Fiftin (54), seorang guru honorer asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sudah 14 tahun mengabdi, mengajar anak-anak didik.

"Saya itu kok menikmati sekali peran saya jadi guru, walaupun ya gajinya sedikit, tapi selalu ada rasa senang, motivasi juga semangat ketika bertemu anak-anak didik."

Kalimat bernada ramah tersebut dituturkan oleh Fiftin (54), seorang guru honorer asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sudah 14 tahun mengabdi.

Baca juga: FSGI Ungkap Kendala Guru Honorer Berusia Tua Jadi PNS

Fiftin termasuk satu di antara banyak guru honorer yang kandas dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021 lalu.

Pengajar kelas 2 SD tersebut menjadi guru honorer sejak Februari 2007.

"Saya dulu ngajar di daerah ndeso (pedesaan), pelosok sekali di Bulu, perjalanan 9 kilometer (km) dari rumah," ujarnya saat berbincang dengan Tribunnews.com, Sabtu (9/10/2021).

Ditempa pengalaman dari tahun ke tahun, dari sekolah satu pindah ke sekolah lainnya.

Dirinya bercerita saat mengajar pertama kali di SDN Bulu Gunungkidul, jumlah siswanya sedikit sekitar 10 anak, lantaran memang daerah pelosok.

"Bayangkan saja mereka sangat butuh pendidikan, jadi dari situlah saya belajar tentang keikhlasan sebagai seorang guru,  mereka semangat belajar di tengah keterbatasan," lanjutnya.

Namun karena kondisi, yakni jumlah siswa terlalu sedikit, kemudian sekolah tersebut di re-group, Fiftin pun dipindahkan ke SD Semanu III, pada 2010.

Era Pandemi

Anak-anak didik SDN Semanu III saat belajar secara daring, Senin (29/11/2021)

Fiftin menuturkan tidak semua anak didiknya memiliki alat-alat penunjang pembelajaran online.

Ada sebagian dari mereka dalam satu keluarga hanya memiliki satu gawai, pun ketika pagi hingga sore akan dibawa para orangtua ketika bekerja.

Bahkan ada juga yang sama sekali tidak memiliki gawai.

Fiftin akan membuatkan tugas bagi anak didiknya yang tak memiliki gawai, sehingga dapat dikerjakan di rumah, lantas dikumpulkan di hari berikutnya.

Belum lagi persoalan sinyal internet yang belum merata di Gunungkidul, bukan hanya para murid, tapi Fiftin juga mengalaminya.

"Kadangkala untuk pembelajaran daring, saya harus ke thukluk (tanah tinggi) di jalan raya, demi mendapat sinyal,” kata Fiftin.

“Atau kadang ke rumah adik saya yang jaraknya 5 km dari rumah saya, karena dekat dengan tower di  balai desa,” lanjutnya.

Namun apabila ada tugas video yang dikirimkan dari anak didiknya, Fiftin harus menuju sekolah, lantaran membutuhkan WiFi untuk mendownload video tersebut.

Tak Melulu Soal Upah

"Gaji pertama saya belasan tahun yang lalu itu Rp Rp 75 ribu, kemudian naik Rp 120 ribu, perbulannya," ujarnya.

Hingga 11 tahun mengajar gaji tertingginya yakni Rp 350 ribu.

Saat itu gajinya ditopang dana dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), namun pada akhirnya kini harus di-stop lantaran dana dari provinsi tersebut dikhususkan untuk guru honorer SMA saja.

"Hingga akhirnya sekarang di titik yang paling banyak yakni Rp 800 ribu per bulan," imbuhnya.

Fiftin bercerita, pernah saat di tengah-tengah masih menjadi guru honorer dan benar-benar berjuang dengan upah yang kecil dirinya sempat akan menyerah.

Fiftin ingin membuka usaha dan berhenti mengajar.

Baca juga: Nadiem Makarim Janji Tetap Gelar Rekrutmen PPPK untuk Guru Honorer Tahun Depan

“Saya ingin membuka usaha ayam petelur, suami pun mendukung, namun jauh dilubuk hati kecil saya masih sangat mencintai pekerjaan saya ini yakni menjadi guru.”

“Dan hal tersebutlah menjadi kekuatan saya sampai hari ini, saya mencintai pekerjaan saya, menjadi guru untuk anak didik saya.”

Rupanya tak melulu soal upah yang terpenting, semangat anak-anak didiklah yang Fiftin utamakan.

"Rezeki itu ajaib, bukan dari manusia datangnya, tapi dari yang membuat hidup, yang harus kita lakukan sebagai pendidik ya ikhlas mengajar," katanya.

Tak Lolos PPPK

Fiftin (54), seorang guru honorer asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sudah 14 tahun mengabdi, mengajar anak-anak didik.

Fiftin hanya kurang poin 5 persen saja untuk lulus seleksi PPPK 2021, dirinya tak lolos dalam tes kompetensi teknis.

Dirinya sempat keheranan, rupanya usia tidak mendapat afirmasi khusus dari pemerintah.

Saat itu, Fiftin mendapati hasil tes untuk manajerial dan wawancaranya melebihi passing grade.

“Saya pikir saya itu lolos waktu itu karena saya mendengar bahwa yang berusia 50 tahun ke atas yang sudah mengajar belasan tahun itu akan ada afirmasi tambahan, jadi itu menenangkan saya namun saat hasilnya keluar ternyata saya tidak lolos,” ungkap Fifitin.

Saat dinyatakan tidak lolos PPPK, Fiftin mengungkap hal tersebut memang itu sedikit menyakitkan.

“Setelah tahu itu saya sedikit kecewa bahkan saya tiga hari tidak keluar dari kamar karena memang saya merasa bahwa pengabdian saya ini sudah cukup lama.”

Namun dirinya kembali teringat pada anak-anak didiknya yang memberikan semangat secara tidak langsung, juga rekan gurunya yang terus mendukungnya, hingga membuatnya kembali bekerja.

Baginya pekerjaan itu tidak melulu soal upah tapi ada hal yang lebih penting dari itu.

“Saya itu mengajar sudah 14 tahun jadi saya sudah memiliki pola tersendiri, paham segala rupa karakter anak-anak, membimbing mereka, menerapkan cara mengajar yang beberapa anak harus di-treatment secara berbeda, ini bukan teori, teori mungkin saya kalah, tapi pengalaman itu yang saya miliki,” tutur Fiftin.

Cerita Asa dari Lampung Timur

Siti Fatimah, seorang guru honorer kelas 1 SDN 3 Rejo Binangun saat mengajar murid-muridnya.

Di sebuah rumah sederhana terdengar suara riang anak-anak belajar, duduk sama rata saling melingkar, bercakap hingga berdiskusi.

Mereka belajar di rumah milik seorang guru honorer, tepatnya di Raman Utara, Lampung Timur.

Siti Fatimah namanya, seorang guru kelas 1 SDN 3 Rejo Binangun.

“Saya sudah 13 tahun mengajar anak-anak didik saya ini, sejak 2008,” ujar Wanita berusia 48 tahun ini.

Siti bercerita soal perjuangannya berkarier menjadi seorang guru honorer.

Pada tahun 2014, dirinya tak memenuhi syarat menjadi guru honorer K2.

Karena syaratnya saat itu harus 10 tahun bekerja, sedangkan Siti baru terhitung enam tahun mengabdi, terhitung sejak  tahun 2008 hingga 2014.

“Makannya  sekarang ini saya usia sudah 35 tahun ke atas jadi untuk pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sudah tidak bisa,” imbuhnya.

Baca juga: Di Peringatan Hari Guru, Ganjar Sambangi Rumah Guru Honorer di SLB Negeri Semarang

Untuk itulah dirinya Bersama rekan-rekannya, tergabung dalam GTKHNK 35+, forum guru yang berjuang mendapatkan kesejahteraan dari Pemerintah Indonesia.

Siti juga menjadi salah satu guru honorer daerah yang belum lolos PPPK 2021, lantaran passing grade-nya hanya 170.

Sementara passing grade yang harus didapatkan peserta ujian Kompetensi Teknis berkisar antara 220 sampai 325 dalam skala 500.

Saat pertama kali mengajar, Siti menerima upah Rp 100 ribu perbulan pada tahun 2008.

Kemudian lambat laun naik menjadi Rp 300 ribu, hingga saat ini setelah 13 tahun upah di titik yang paling tinggi Rp 500 ribu, per bulan.

Dan upah tersebut dibayarkan setiap tiga bulan sekali, lantaran berasal dari anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Bertahun-tahun bertahan melakoni peran guru, dengan upah bulanan yang tergolong minim, Siti memiliki alasan tersendiri.

Ya, karena sayang terhadap anak-anak didik.

Siti Fatimah, seorang guru honorer asal Lampung saat mengajar anak-anak les di rumahnya.

“Saya senang dan sayang sama anak-anak, saya hanya ingin anak-anak bangsa ini giat belajar, terasah kemampuan berpikirnya, dan memiliki kakarakter yang baik, itu saja,” tuturnya.

Tidak hanya di sekolah, dirinya pun membuka lebar pintu rumahnya bagi anak-anak yang ingin belajar.

"Saya buka les-les'an di rumah, tapi karena ini di desa tempat tinggal saya jadi kadang kala ya gratis saja untuk anak-anak ini, itu kepuasan tersendiri bagi saya,” ujar ibu satu anak tersebut.

Siti pun mengatakan bahwa pernah terbersit keinginan manusiawi bahwa ketika bekerja ingin mendapat kesejahteraan.

Namun makna kesejahteraan itu berubah lama kelamaan, keikhlasan dalam kekurangan menjadikannya lebih nyaman untuk mejalani kehidupan.

“Saya bersyukur hidup sederhana, suami seorang petani, dan kini anak saya sudah duduk di bangku SMA, saya juga bersyukur masih menjadi seorang guru setidaknya membantu anak-anak didik untuk mengejar kesuksesan mereka,” pungkasnya.

Cerita Asa dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Septi indriyani (48) seorang guru honorer di SMPN 7 Karang Intan, yang sudah 10 tahun lebih mengabdi membimbing generasi bangsa.

Dari Lampung, cerita lainnya juga Tribunnews dengar dari Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Septi indriyani (48) seorang guru honorer di SMPN 7 Karang Intan, yang sudah 10 tahun lebih mengabdi membimbing generasi bangsa.

Senada dengan cerita sebelumnya, Septi pupus dalam PPPK 2021.

“Seleksi PPPK ini sebenarnya kami kalah di umur, pemerintah memberi syarat minimal honorer 3 tahun itu sudah bisa masuk persyaratan asalkan dia sudah masuk Dapodik, sedangkan kami ini sudah mengampu pengabdian selama 7 tahun lebih, dibandingkan yang masih 3 tahun mengabdi tapi mereka sudah masuk Dapodik jelas kita kalah,” ungkapnya kepada Tribunnews.com.

Belum lagi soal formasi yang disediakan hingga sertifikasi pendidikan, yang memiliki sertifikat pendidik itu yang akan memiliki potensi lolos, lanjutnya.

Namun hal tersebut tak membuat Septi berkecil hati dan berputus asa, pun dengan upah yang minim seperti guru honorer pada umumnya.

Saat pertama kali mengajar Septi mendapat upah Rp 10 ribu per satu jam mengajar, dan untuk hitungan 1 minggu dirinya mendapat Rp 180 ribu per bulan.

“Hingga akhirnya ada seleksi tes untuk guru kontrak saya ikuti, Alhamdulillah saya lulus saat itu tahun 2019, baru dapat dari daerah Rp 1.200.000 perbulannya.”

Septi berujar di Kabupaten Banjar sendiri gaji pekerja kontrak terendah adalah guru.

Sinyal Masih Sulit

Aktivitas belajar mengajar saat ini masih dibatasi adanya pandemic Covid-19.

Rutinitas Septi kini harus mempersiapkan materi untuk diajarkan lewat belajar daring, juga tatap muka yang dilakukan berselang hari selama 2 jam saja.

Lantaran sinyal internet yang belum merata di Kabupaten Banjar, kadang akan berdampak pada aktivitas belajar mengajar.

Pun ada beberapa siswanya yang tidak terfasilitasi dengan gawai yang memadai.

“Saat ini solusinya kita dorongan untuk belajar kelompok, dengan satu gawai digunakan, atau mereka ke sekolah untuk mengambil tugas dan dikerjakan di rumah, yang penting bagi saya anak-anak ini terus terasah pengetahuannya, dan sedikit demi sedikit kita bimbing karakternya ke yang lebih baik,” ujar Guru mata pelajaran IPA tersebut.

Keadilan Bagi Guru Honorer

Fiftin (54), seorang guru honorer asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sudah 14 tahun mengabdi, mengajar anak-anak didik.

Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ahmad Kamaludin, menyoroti soal keadilan bagi para guru di Indonesia, khususnya guru honorer.

Baginya guru harus ditempatkan di posisi yang layak dan diberikan pendapatan yang layak, lantaran pengabdiannya yakni ikut serta mencerdaskan anak bangsa.

IGI pun terus mendorong Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem untuk terus memastikan guru-guru di seluruh Indonesia memiliki status yang jelas dengan masa depan yang jelas.

“Karena masih sangat banyak, guru-guru honorer di Indonesia yang pendapatannya berada di bawah upah minimum kabupaten atau upah minimum provinsi," ujar Ahmad Kamaludin.

Pria yang juga mengemban sebagai Pembina Forum Sekolah Negeri (FGHSN) Kota Banjarmasin tersebut juga mendorong agar Pemerintah Indonesia memberikan afirmasi tambahan bagi guru honorer yang berjuang di PPPK.

“Guru Honorer K2 di antaranya yang masa pengabdiannya sangat lama rata-rata 15 -20 tahun, usia 35+ juga perlu dipertimbangkan berdasarkan TMT Honorer menjadi guru, mengacu pada Dapodik, masa pengabdian wajib dihargai, sebab ada yang umurnya waktu test berusia 34 - 35 tahun tapi pengabdian sudah 15 Tahun,” tuturnya.

Dirinya pun khawatir para guru honorer akan disisihkan dengan guru beruisa 35+ tapi TMT Honorernya baru di 2019, maka itu sangat merugikan bagi guru yang sudah lama mengabdi.

Pihaknya juga menyampaikan pemerintah masih belum mengakomudir Guru Non PNS yang mengabdi lama, baik dari  honorer K2 dan Non Kategori.

Karena menggunakan sistem linieritas, sehingga tidak bisa mendaftar PPPK ASN Jabatan Funsional (JF) Guru 2021.

“Kalo kita merujuk kembali kepada UU Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 8 dikatakan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”

Pasal 9 berbunyi kualifikasi akademik sebagaiman dimaksud dengan pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.

Tidak ada disebut harus linier yang penting berpendidikan S1/DIV, hal ini, lanjutnya, juga dipertegas didalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN tentang jabatan fungsional Pasal 18  ayat (2) Jabatan Fongsional Keahlian terdiri atas:

a) Ahli Utama

b) Ahli Madya

c) Ahli Muda dan

d) Ahli Pertama

Untuk itulah IGI Meminta kepada Dirjend GTK Kemendikbud RI untuk mencabut atau merevisi Surat Edaran Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  Nomor 1460/B.B1/GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik Dalam Pendaftaran Pengadaan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja, karena tidak memenuhi unsur keadilan.

Juga meminta syarat mendaftar ASN PPPK guru cukup berpendidikan S1 atau D IV.

Terobosan di Era Presiden Jokowi

Pengamat Pendidikan, ujar Doni Koesoema, menyebut terkait seleksi PPPK, hal tersebut merupakan sebuah terobosan di era Presiden Jokowi.

Karena sesuai PP nomor 49 tahun 2018, sebenarnya membuka peluang bagi guru honorer menuju lebih sejahtera.

Di mana saat ini sesuai Data Pokok Pendidikan (Dapodik) terbaru ada sekitar ada sekitar 704.000 guru honorer di Indonesia.

"Ini memberikan kesempatan kalau memang mengikuti undang-undang ASN bagi guru yang umurnya di atas 35 tahun sudah tidak bisa lagi ikut CPNS, maka dengan PPPK merupakan solusi bahwa guru honorer bisa memperoleh hak kesejahteraannya," ungkapnya kepada Tribunnews.com, September 2021 lalu.

Dodi menekankan para guru - guru honorer yang sudah mengabdi berpuluh-puluh tahun tersebut, perlu mendapat penghargaan dari Pemerintah Indonesia.

Menurutnya mereka harus diberikan prioritas, karena mereka sudah punya komitmen dalam pekerjaan dan terbukti dedikasinya.

“Tetapi kalau mau otomatis mengangkat berdasarkan dengan kriteria-kriteria lama, pemerintah juga tidak mungkin karena ada peraturan perundang-undangan yakni melalui seleksi,” ungkapnya.

Kompetensi Teknis Tak Perlu

Pengamat pendidikan Doni Koesoema dalam program tayangan Panggung Demokrasi Tribunnews.com, Rabu (29/9/2021). (Tangkapan Layar Youtube Tribunnews)

Terkait seleksi PPPK 2021, Doni menyoroti soal seleksi kompetensi teknis yang ada di dalam PPPK, hal tersebut dirasa tak perlu.

Seperti diketahui dalam PPPK terdapat tiga tahapan tes yakni kompetensi teknis, kompetensi manajerial, kompetensi sosio kultural.

Menurut Doni, para guru honorer  banyak yang sudah belasan tahun bahkan lebih mengabdi.

“Dan mereka pasti sudah menemukan pola mengajar mereka, namun apabila ada kekurangan itulah yang diperlukan sebuah pengembangan profesional,” lanjutnya.

Doni menekankan kompetensi manajerial dan sosio kultural memang sangat diperlukan, karena ini terkait dengan nilai-nilai kebhinekaan serta keberagaman Indonesia.

Dan yang terpenting, lanjut Doni para guru honorer jangan dipersulit dalam tiga tahapan tes tersebut.

Pohaknya menyebut perlu ada hati nurani untuk menyikapi kondisi guru honorer khususnya di daerah.

“Bahkan bagi guru yang separuh hidupnya mungkin mereka dedikasikan di daerah untuk mengajar yang di mana kondisinya di sana sangat sulit dijangkau,” kata Doni.

“Coba bayangkan guru honorer digaji sangat kecil sebulan dan itu diperoleh selama bertahun-tahun, namun di sisi lain guru honorer ini memiliki konsistensi mengajar dengan para guru PNS.”

“Memang letak kesalahannya itu bukan di gurunya, kesalahan ada di Pemerintah Indonesia,”

Doni menjelaskan dari total tiga juta guru di Indonesia, guru PNS hanya ada 1,1 persen, bahkan hampir selama waktu 10 - 15 tahun itu tidak ada formasi guru PNS, dibiarkan saja, kenapa dibiarkan padahal ini guru bangsa,” tutur Doni.

Doni pun tidak membenarkan apabila alasan pemerintah lantaran tidak adanya anggaran.

Karena menurutnya untuk pendidikan sekolah itu harus ada prioritas.

“Kalau dikatakan kekurangan guru sebenarnya kita tidak kekurangan guru, karena ada guru honorer tapi salahnya bukan pada kekurangannya tapi bagaimana guru-guru ini bisa sejahtera,” ujar Doni.

Doni menyoroti soal minimnya upah para guru honorer per bulannya, namun di sisi lain mereka memiliki kewajiban yang besar yakni mendidik anak bangsa.

Menurutnya Pemerintah Indonesia belum menjadikan para guru sebagai abdi negara, padahal para guru honorer ini bentul-betul mengabdi pada negara.

Menurut Doni, pemerintah perlu memberikan prioritas pertama bagi mereka guru honorer yang sudah mengabdi di daerah terpencil.

Baca juga: Nurnetty Guru Honorer yang Lulus PPPK di Medan, Tahun 2010 Bergaji Rp 300 Ribu Sebulan

Tanpa mereka tidak ada pendidikan di sana.

“Kedua prioritas pada usia, artinya itu menunjukkan komitmen dan dedikasi mereka ketika di bawah 35 tahun masih tidak lolos hanya masalah teknis diberi catatan, mereka diterima lolos PPPK tapi mereka harus melakukan pengembangan profesional yang itu disediakan oleh Kemendikbud,” ujar Doni.

“Pengembangan - pengembangan profesional untuk bapak ibu guru itu untuk menambal lobang-lobang kelemahan mereka,” kata Doni.

Afirmasi Tambahan

Fiftin (54), seorang guru honorer asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sudah 14 tahun mengabdi, mengajar anak-anak didik. ((Tribunnews.com/Garudea Prabawati))

Sebelumnya diketahui Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan akan ada afirmasi tambahan bagi guru dengan usia di atas 50 tahun pada Seleksi Kompetensi I Guru ASN-PPPK 2021.

Di mana akan ada 100 persen jumlah nilai tambahan dari kompetensi teknisnya.

Juga akan ada afirmasi tambahan untuk kompentensi teknis, yakni nilai sebesar 10 persen.

Tidak hanyak itu nantinya para guru honorer di atas 50 tahun juga mendapatkan tambahan 10 persen tambahan nilai dari aspek manajerial, sosio kultural.

"Bagi yang belum lolos passing grade jangan khawatir, masih ada ronde kedua dan ketiga di tahun ini. Tapi kalau butuh waktu untuk belajar lagi masih ada tahun depan," pungkas Nadiem dalam keterangannya.

Baca juga: Hari Guru Nasional, Puan Dorong Guru Honorer Dimudahkan Jadi ASN

PPPK Tahap 2022

Sementara itu Dirjen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan terkait PPPK 2022.

Nantinya akan ada pendekatan kepada daerah-daerah agar mengajukan usulan sisa kuota 1 juta guru PPPK 2021.

Hal ini dilakukan Kemendikbudristek demi memaksimalkan kuota satu juta guru PPPK terisi pada 2022 mendatang.

(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini