TRIBUNNEWS.COM - Berikut profil ketua Kongres Perempuan Pertama, Nyonya Sukonto yang peduli perempuan.
Nyonya Sukonto memiliki nama kecil Siti Aminah, lahir di Klegen, Temanggung, Jawa Tengah.
Ayahnya bernama R. Ng. Duryat Sastromijoyo dan ibunya bernama Kustiyah.
Siti Aminah adalah anak keempat dari sembilan bersaudara.
Baca juga: Sejarah Hari Ibu Nasional 22 Desember dan 20 Quotes Perayaan Hari Ibu, Cocok Jadi Caption Instagram
Waktu kecil, Siti Aminah tidak mengikuti pendidikan secara formal di sekolah seperti kakak-kakaknya.
Lain halnya adik-adik Siti Aminah yang berkesempatan sekolah.
Pada waktu Siti Aminah kecil, orang pada umumnya berpendapat bahwa anak perempuan cukup diberi pendidikan di rumah saja yaitu mengaji, sembahyang, membaca Al Qur'an, dan membaca serta menulis huruf Jawa.
Hal ini membuat Siti Aminah yang tinggal bersama orang tuanya belum dapat membaca dan menulis huruf latin.
Belajar membaca dan menulis huruf latin setelah menikah
Berdasarkan data dari buku BIOGRAFI TOKOH KONGRES PEREMPUAN INDONESIA PERTAMA (1991), ia baru belajar membaca dan menulis huruf latin setelah menikah.
Berkat dorongan suaminya dan atas kemauannya yang kuat, akhirnya Siti Aminah pandai membaca dan memiliki pengetahuan yang luas.
Pada 7 September 1907, Siti Aminah menikah dengan dokter Sukonto, seorang dokter lulusan STOVIA (School Ter Opleiding van Inlandsche Arsten) Batavia (Jakarta).
Mereka dikaruniai tujuh orang anak, empat laki-laki dan tiga wanita dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada AMS-A, AMS-B, HBS, PAMS/Sekolah Guru Menengah, dan salah satunya tamat AMS juga tamat Sekolah Analis Kimia di Bandung, pada zaman Belanda.
Setelah menikah, Nyonya Sukonto mendampingi sang suami dalam melaksanakan tugas beratnya dan merasa kesepian karena sering ditinggal bekerja oleh sang suami, terlebih saat bertugas pedalaman.
Semula sang suami bekerja di Semarang kemudian beberapa tahun tinggal di Wonosobo.
Setelah itu, dokter Sukonto bekerja di beberapa tempat, di antaranya Plaju (Sumatra Selatan), Yogyakarta, Jakarta, Banjarnegara, dan Bandung.
Sang suami, Sukonto adalah dokter perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Plaju, wilayah yang masih sangat sepi saat itu.
Letaknya di tengah hutan lebat, sulit dijangkau antara daerah satu dengan lainnya, dan di situ masih dihuni oleh orang-orang Kubu.
Oleh karena itu, dokter Sukonto mencoba mengusulkan Nyonya Sukonto untuk suka belajar membaca dan menulis huruf Latin guna menghilangkan rasa kesepian.
Berkat kemauannya, Nyonya Sukonto telah lancar membaca dan menulis huruf Latin.
Setelah itu, dokter Sukonto mendatangkan surat kabar dan majalah agar isterinya lebih lancar membaca.
Dengan ketekunannya membaca surat kabar dan majalah, pandangan Nyonya Sukonto tentang dunia menjadi semakin luas.
Ketertarikan berorganisasi dan menjadi Ketua Wanito Utomo
Kemudian, pada suatu hari, Nyonya Sukonto mendapat kabar dari temannya di Pulau Jawa tentang kemajuan para wanita yang telah mulai berorganisasi.
Mengetahui kabar tersebut, Nyonya Sukonto sangat tertarik, niatnya makin besar untuk segera pindah ke Jawa.
Namun, harus menunggu habis kontrak kerja suaminya.
Pada tahun 1924, Nyonya Sukanto sekeluarga pindah ke Yogyakarta.
Dokter Sukonto kemudian bekerja pada pemerintah.
Karena pembawaannya yang baik kepada orang lain, Nyonya Sukonto mempunyai banyak kenalan.
Menurutnya, pandai mengendalikan diri dan ramah-tamah merupakan modal yang berharga pada dirinya sebagai seorang pemimpin.
Pada zamannya, anak-anak umumnya tidak mendapat kesempatan bersekolah, terlebih anak wanita yang dianggap cukup hanya memiliki pengetahuan dalam hal rumah tangga.
Keberhasilan bimbingan Nyonya Sukonto terhadap keluarganya tampak dari keberhasilan anak-anaknya dari sekolahnya.
Saat pertama kali keluarga Sukonto menetap di Yogyakarta, Nyonya Sukonto baru dapat menggabungkan diri pada salah satu organisasi yang bernama Wanito Utomo.
Organisasi ini merupakan suatu perkumpulan non politis yang didirikan ibu-ibu rumah tangga yang awalnya hanya berkecimpung dalam hal kesejahteraan wanita dan sosial.
Nyonya Sukonto sangat aktif dan bekerja sama dengan ibu-ibu perkumpulan tersebut, salah satunya adalah Nyonya Abdulkadir.
Dokter Abulkadir dengan dokter Sukonto merupakan satu angkatan sehingga antara kedua keluarga ini sangat akrab.
Atas usaha Nyonya Sukonto dan Nyonya Abdulkadir, organisasi Wanito Utomo dapat berkembang dengan lancar.
Berkat keaktifan serta lancar bicara, Nyonya Sukonto terpilih menjadi ketua Wanito Utomo.
Ia berusaha keras meningkatkan derajat kaum perempuan dengan jalan memberikan kursus-kursus yang diberikan di rumahnya, di daerah Tugu Kulon dekat Pasar Kranggan.
Kongres Perempuan Pertama
Kongres Perempuan Pertama menjadi suatu peristiwa penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Kongres ini berlangsung pada 22-25 Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta.
Dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama ini, Nyonya Sukonto terpilih menjadi ketua sebagai wakil dari Wanito Utomo.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, Nyonya Sukonto dibantu oleh Panitia Kongres Perempuan Pertama, di antaranya:
- Siti Munjiah (Wakil Ketua);
- Siti Sukaptinah (Sekretaris I);
- Siti Sunaryati (Sekretaris II);
- R.A. Harjodiningrat (Bendahara I);
- R.A. Sujatien (Bendahara II);
- Ny Hajar Dewantoro (Anggota);
- Beberapa anggota lain yaitu Driyowongso, Muridan, Umi Salamah, Johanah, Budiah Muryati, Hajinah, Ismudiyati, dan R.A. Mursandi.
Kongres Perempuan Pertama yang dimulai Sabtu malam 22-23 Desember 1928 dihadiri lebih dari seribu orang, merupakan wakil 30 organisasi wanita dari seluruh Jawa dan Sumatera serta beberapa organisasi kaum laki-laki.
Kemudian, kongres ini ternyata mendapat perhatian khusus dari intel pemerintah kolonial Belanda.
Nyonya Sukonto dipanggil oleh intel pemerintah kolonial untuk menjawab berbagai pertanyaan.
Perlu diketahui, pemrakarsa Kongres Perempuan pertama adalah Nyonya Sukonto, Nyi Hajar Dewantoro, dan Nona Sujatien (Alm. lbu Kartiwiyono).
Mereka didukung oleh tujuh organisasi wanita yaitu Wanito Utomo, Wanito Taman Siswo, Putri Indonesia, Wanita Katholik, Jong Java (bagian gadis-gadis Meisjeskieng), Aisyiyah, dan JIBDA (Jong lslamieten Bond Domes Afdeeling bagian wanita).
Keputusan-keputusan Kongres Perempuan Pertama
- Mendirikan badan pemufakatan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
- Didirikan studie fonds (dana studi) untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan berusaha memajukan kepanduan putri.
- Mencegah perkawinan di bawah umur.
Tiga mosi kepada Pemerintah Belanda
- Penambahan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan.
- Supaya pada pernikahan pemberian keterangan tentang taklik (janji dan syarat-syarat perceraian) diwajibkan.
- Diadakan peraturan sokongan untuk janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri.
Pencetusan Kongres Perempuan Indonesia
Setelah satu minggu dari hasil pertemuan organisasi-organisasi wanita, komite kongres terbentuk dan diberi nama Kongres Perempuan Indonesia.
Berdirinya komite kongres ini mendapat tantangan, rintangan, dan kritik yang tajam dari berbagai pihak.
Tantangan itu dilontarkan oleh kaum kuno (kolot) serta kritik yang bersikap menentang.
Lontaran kritik kaum kolot terhadap niat yang dipelopori Nyonya Sukonto dan teman-temannya itu antara lain mengatakan bahwa kaum isteri tidak perlu berkongres-kongresan.
Mereka menilai, tempat kaum isteri hanyalah di dapur.
Kaum puteri tidak perlu memikirkan hal penghidupan, sebab hal itu menjadi kewajiban kaum laki-laki.
Selain itu, mereka menilai kaum isteri Indonesia belum matang dan belum dapat berdamai dalam perkumpulan.
Nyonya Sukonto dalam pidato pembukaan kongres secara tegas mengingatkan di hadapan para peserta bahwa orang yang ingin mencapai suatu tujuan tertentu harus berani membantah semua kritik.
Untuk itu, Nyonya Sukonto selalu mengajak kaum puteri yang menghendaki kemajuan agar pekerjaan itu dilakukan dengan penuh kejujuran.
Ia mengatakan, sudah saatnya kepentingan kaum puteri zaman kegelapan diangkat.
Kaum isteri hendaklah jangan hanya dianggap baik di dapur saja.
Pemikiran itu menurut Nyonya Sukonto sudah usang.
Kaum isteri hendaknya dapat mengikuti tuntutan zaman dan diangkat derajatnya serta laki-laki dan perempuan harus berjalan bersama dalam pergaulan hidup.
Peristiwa bersejarah ini selanjutnya diperingati sebagai Hari Ibu.
Kegiatan Nyonya Sukanto setelah tidak menjadi ketua Kongres Perempuan Pertama dan akhir hidupnya
Setelah tidak menjabat ketua PPI, Nyonya Sukonto aktif kembali di Wanito Utomo Yogyakarta sampai ia pindah ke Jakarta pada tahun 1929 untuk mendampingi suami.
Di Jakarta, ia masih menjadi anggota PPI.
Pada tahun 1931, Nyonya Sukonto aktif dalam pergerakan wanita.
Ia juga mendirikan asrama khusus untuk wanita, baik yang sedang belajar ataupun yang tidak bekerja agar mereka mendapat tempat tinggal yang murah dan terurus dengan baik.
Sebagai informasi, dokter Sukonto meninggal dunia pada 19 Juni 1968 di Yogyakarta.
Setahun kemudian, tepatnya 5 November 1969 Nyonya Sukonto juga meninggal di kota yang sama setelah menderita sakit jantung.
Nyonya Sukonto dan suaminya disemayamkan di pemakaman keluarga di Payaman dekat Magelang.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)
Artikel lainnya terkait Hari Ibu