News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Buku 'Demokrasi di Era Post Truth', Mengulas Dampak Liarnya Informasi di Medsos Terhadap Demokrasi

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan berupaya memberi uraian lengkap tentang post-truth lewat buku Demokrasi di Era Post Truth (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021).

TRIBUNNEWS.COM - Majunya teknologi komunikasi dan platform media sosial turut memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Sesuatu yang seolah-olah fakta muncul cepat bergulir melalui media sosial.

Namun, masyarakat mudah memercayai “info bohongan” daripada fakta sesungguhnya.

Tidak ada upaya pengecekan atas sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka, kini kita sedang berada di era pasca-kebenaran (post-truth).

Menyikapi hal ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan berupaya memberi uraian lumayan lengkap tentang post-truth lewat buku Demokrasi di Era Post Truth (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021).

Budi Gunawan memperlihatkan, media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu tertentu secara negatif tanpa dasar yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat.

Baca juga: Lewat Buku “Demokrasi di Era Post Truth”, Kepala BIN Uraikan Ancaman Disinformasi serta Polarisasi

Ancaman bagi Demokrasi

Diskusi “Era ‘Post Truth’ Ancam Demokrasi?” akan mengupas tuntas buku “Demokrasi di Era Post Truth” karya Kepala BIN Budi Gunawan (ISTIMEWA)

Ada empat kategori disinformasi post-truth yang diproduksi dan disirkulasikan, yaitu disinformasi politik, nonpolitik, hiburan, dan demi keuntungan finansial.

Disinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting.

Demokrasi elektoral yang sehat jelas sulit dibangun apabila masyarakat tidak menggunakan kemampuan kritisnya dalam mengonsumsi informasi. Di era ini, emosi dan keyakinan personal lebih penting daripada fakta objektif, sehingga antara kebohongan dan kebenaran sulit diidentifikasi.

Di Indonesia, polarisasi politik, khususnya dalam satu atau dua dekade ini, tampak nyata dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Dalam hal ini muncul bukan hanya polarisasi isu, melainkan juga polarisasi geokultural. Konten-konten negatif lalu-lalang mengaburkan fakta-fakta politik sebenarnya dan melahirkan apa yang disebut politik post- truth.

Polarisasi politik pada Pemilu 2019, misalnya, jauh lebih intens dan lebih tajam dibandingkan dengan Pemilu 2014. Proliferasi dan viralisasi konten-konten kampanye hitam yang cenderung provokatif melalui hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian marak digaungkan di ruang virtual.

“Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesi sosial serta keamanan nasional,” tulis Budi Gunawan.

Praktik-praktik politik post-truth tentu akan membawa konsekuensi negatif berupa terkikisnya tradisi perdebatan yang sehat di masyarakat, terjadinya kebuntuan politik, dan timbulnya ketidakpastian terkait kebijakan. Bahkan, post-truth ini bisa menjadikan masyarakat mengalienasi diri dari dinamika politik.

Terjadi Secara Global

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini