News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Asabri

Terdakwa Korupsi PT ASABRI, Heru Hidayat Tak Mau Komentar Usai Bacakan Pembelaan atas Tuntutan Mati

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) Heru Hidayat, saat bergegas menuju keluar ruang persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (13/12/2021).

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) Heru Hidayat, telah menyampaikan nota pembelaan alias pleidoi atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), pada Senin (13/12/2021).

Berdasarkan pantauan Tribunnews.com di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sidang dengan agenda pembacaan pleidoi tersebut selesai pada sekitar pukul 18.10 WIB.

Kendati begitu, Heru Hidayat selaku terdakwa dalam perkara ini kembali tidak memberikan pernyataannya alias bungkam dari pertanyaan awak media yang sudah berjaga di luar ruang sidang.

Terpantau, Heru bergegas meninggalkan ruang sidang tanpa merespons pertanyaan dari awak media dengan didampingi perangkat keamanan dari kejaksaan dan kepolisian.

Dirinya terlihat langsung diarahkan dan menuju ke area parkiran mobil tahanan yang berada di wilayah basement Pengadilan Tipikor.

Selang beberapa menit, mobil tahanan kejaksaan negeri Jakarta Pusat yang membawa Heru Hidayat, keluar area Pengadilan Tipikor.

Diketahui, pada persidangan Senin (13/12/2021) ini, Heru Hidayat bersama kuasa hukumnya telah menyampaikan nota pembelaan alias pleidoi atas tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum (JPU).

Baca juga: Bacakan Pledoi, Heru Hidayat Sebut Tuntutan Jaksa Di Luar Koridor Hukum dan Melebihi Wewenang

Pleidoi dari Heru Hidayat sendiri disampaikan secara tertulis kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, sedangkan pleidoi dari tim kuasa hukum dibacakan langsung dalam persidangan.

Dalam pleidoinya, Heru menyatakan, pasal yang dituntut oleh jaksa kepada dirinya dalam perkara ini menyimpang. Sebab pasal tersebut tidak sesuai dengan apa yang didakwakan jaksa kepada dirinya.

"Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak pernah dicantumkan dalam Surat Dakwaan kepada saya, bahkan sejak awal mula Peyidikan perkara ini, pasal tersebut tidak pernah disertakan," kata Heru dalam pleidoinya, Senin (13/12/2021).

Sebagai informasi, dalam dakwaannya jaksa menyatakan Heru diancam melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Baca juga: Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat dalam Kasus Asabri Dinilai Tidak Tepat

Saat jaksa menjatuhkan tuntutan, Heru dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana hukuman mati. Padahal dalam Undang-Undang No.31 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ancaman hukuman mati itu tertuang di Pasal 2 ayat (2).

"Sementara ancaman hukuman mati dalam UU Tipikor hanya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut. Lalu kenapa mendadak dalam Surat Tuntutan Jaksa menuntut mati ? Sementara dalam poin 1 amar Tuntutannya Jaksa menyatakan saya bersalah di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," ucap Bayu.

Atas hal itu, Heru menilai, tuntutan yang dijatuhkan jaksa kepada dirinya adalah suatu bentuk kezaliman karena tidak sesuai dengan koridor dalam dakwaan.

Padahal kata dia, dakwaan yang dijatuhkan oleh setiap jaksa dalam perkara apapun merupakan pedoman jaksa untuk menjatuhkan tuntutan, serta pedoman dari majelis hakim untuk memutus perkara.

Baca juga: Pakar Beberkan Kekeliruan Jaksa Tuntut Pidana Mati Heru Hidayat

"Bukankah yang membuat persidangan ini ada adalah karena Surat Dakwaan Jaksa ? Sehingga jelas dalam perkara ini Jaksa telah melakukan Tuntutan diluar koridor hukum dan melebihi wewenangnya," tukas Heru.

Diketahui, Jaksa penuntut umum (JPU) menjatuhkan tuntutan pidana terhadap pihak swasta dalam hal ini Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) Heru Hidayat.

Pembacaan tuntutan itu dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa Heru secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama dan dakwaan kedua primer dari Jaksa.

"Menyatakan terdakwa Heru terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer pasal Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," kata jaksa dalam persidangan, Senin (6/12/2021).

Baca juga: Tuntutan Hukuman Mati Terhadap Heru Hidayat Dinilai Keliru

"Serta, pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang," lanjut jaksa.

Atas hal itu, jaksa menjatuhkan tuntutan terhadap Heru yang dinilai melakukan tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime dengan pidana hukuman mati.

Penjatuhan tuntutan ini juga dilayangkan jaksa mengingat karena Heru juga merupakan terpidana pada kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang telah merugikan negara Rp 16 Triliun, dimana dia divonis hukuman seumur hidup.

"Kami menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi terhadap terdakwa Sony Wijaya untuk memutuskan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat dengan hukuman mati," tuntut jaksa.

Tak hanya menjatuhkan tuntutan hukuman pidana, jaksa juga menuntut Heru untuk membayar uang pengganti yang telah dinikmati atas perbuatannya yakni senilai Rp 12,6 Triliun.

Jika tidak mampu membayar uang pidana pengganti tersebut maka seluruh harta benda Heru akan disita untuk menutupi pidana uang pengganti.

"Membayar uang pengganti sebesar Rp12,64 triliun dengan ketentuan tidak dibayar sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk uang pengganti tersebut," ucap jaksa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini