Bermaksud untuk menengahi kejadian tersebut, Soekarno dan Brigjen Bethel berunding untuk merencanakan gencatan senjata pada 2 November 1945.
Akhirnya kedua belah pihak mencapai sebuah kesepakatan, bahwa sekutu tetap memiliki tanggung jawab atas tugasnya, jalan raya Ambarawa-Magelang terbuka untuk republik dan serikat.
Lalu, sekutu tidak mengakui aktivitas NICA.
Pada kenyataannya sekutu mengabaikan bunyi perjanjian yang telah disetujui bersama.
Karena hal tersebut, pertempuran 20 November 1945 tidak dapat terbendung dan ditahan lagi.
Kejadian tersebut menjalar ke dalam kota pada 22 November 1945.
Kemudian, bala tentara sekutu melemparkan bom ke pedalaman Ambarawa dengan tujuan memberikan ancaman terhadap kedudukan TKR.
Dengan rasa berani, pihak republik kemudian membalas dengan tujuan mempertahankan wilayah dari sekutu.
Sejak saat itu medan Ambarawa terbagi 4 sektor, yaitu sektor utara, sektor Selatan, sektor Timur dan sektor Barat.
Tekad kuat yang ditunjukkan rakyat Ambarawa yang bersatu dengan TKR tersebut menyulitkan sekutu untuk menaklukkan wilayah tersebut.
Ketika itu, pasukan TKR yang terlibat menghadapi sekutu berjumlah 19 batalyon.
Baca juga: Menhan Prabowo Ajak Mabes TNI, AD, AL, dan AU untuk Menyusun Produk Strategis Pertahanan
Kemudian, pada 26 November terjadi pertempuran yang menewaskan Kolonel Isdiman yang digantikan oleh Kolonel Soedirman.
Sekutu lalu memberikan ancaman terhadap Ambarawa, hal tersebut dikarenakan wilayah tersebut dinilai strategis untuk mencapai Surakarta, Magelang dan Yogyakarta (saat itu menjadi tempat kedudukan Markas tertinggi TKR).
Tewasnya Kolonel Isdiman mendorong rakyat dan TKR gencar dan bersemangat untuk melakukan serangan balik.