"Alasannya saya tidak mengikuti emosional saya untuk situasi itu, saya pakai hanya sebagai candaan, tapi ternyata saya terlampau kasar, etikanya benar-benar enggak," ucap Yahya.
Padahal kala itu, dirinya sadar kalau kegiatan ceramah yang bertema "nikmatnya Islam" itu sedang direkam oleh pihak panitia DKM Masjid Jenderal Sudirman World Trade Center Jakarta.
Hanya saja dia tidak mengetahui kalau ternyata tayangan itu masuk dalam Live Streaming akun YouTube dan Facebook milik Panitia Masjid.
"Apakah ada panitia yang mengkonfirmasi pada saudara akan disiarkan atau gimana?," tanya jaksa
"Tidak diberitahukan," jawab Yahya.
"Namun ketika saudara melihat kamera tersebut apa yang saudara lakukan?," tanya lagi jaksa.
"Sepengetahuan saya itu hanya dokumentasi orang yang merekam saja," timpal Yahya.
Diketahui dalam perkara ini Yahya Waloni didakwa atas kasus dugaan penistaan agama sehingga menimbulkan kebencian di antara umat beragama.
Dalam dakwaannya jaksa turut menjelaskan posisi perkara dari Yahya Waloni, di mana hal ini terjadi, pada Rabu (21/8/2019) saat itu terdakwa sebagai penceramah diundang oleh DKM masjid Jenderal Sudirman World Trade Center Jakarta untuk mengisi kegiatan ceramah dengan tema “nikmatnya islam.
Jaksa menyatakan, dalam agenda tersebut turut dihadiri sekitar 700 jamaah, namun dalam isi ceramahnya, Yahya menyampaikan materi yang menimbulkan rasa kebencian antar individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Di mana isi ceramah dari Yahya menyangkut ungkapan yang bermuatan kebencian terhadap umat kristen sehingga materi ceramah dapat menyakiti umat kristiani.
Padahal selain didengar oleh jamaah masjid tersebut, ceramah itu juga ditayangkan secara langsung (live streaming) di akun media sosial yang dimiliki oleh mesjid WTC yaitu youtube dan facebook sehingga ditonton oleh khalayak ramai.
Atas hal itu, Yahya Waloni didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu pertama pasal 45a ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) undang-undang no 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE), atau kedua, pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketiga, pasal 156 KUHP.