News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Muktamar NU

Lewat Buku Biografi, Gus Yahya Ceritakan Derap Langkah dan Gagasannya

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Katib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berpose usai wawancara khusus dengan Tribun Network di Jakarta, Sabtu (4/12/2021). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Lebih jauh Gus Yahya, ia menganggap dirinya sebagai anak Gus Dur, karena semenjak mengenal Gus Dur secara pribadi maka pikiran-pikiran pergulatan mentalnya terkait NU ini selalu merujuk kepada Gus Dur.

Bahkan, faktor Gus Dur menjadi satu di antara alasan dirinya maju menjadi Ketua Umum PBNU.

“Saya ini adalah anak Gus Dur, karena semenjak saya mengenal Gus Dur kemudian kesempatan mengenal beliau secara pribadi maka pikiran-pikiran pergulatan mental saya ter terkait NU ini selalu saya rujukan kepada Gus Dur,” ucapnya.

Sebagai anak perubahan, anak NU dan anak Gus Dur, Gus Yahya sendiri lebih cenderung untuk berpikir dalam kerangka gerakan sosial ketimbang keterlibatan intelektual dan akademis.

“Jadi kalau tadi menyebut bagaimana menggabungkan wacana tradisional dengan modern antara kitab kitab kuning dengan kitab putih ya saya mengikuti pergulatan di sekitar itu, tapi ketertarikan saya cenderung aspek gerakannya bagaimana NU ini sebagai gerakan sosial bisa lebih efektif kerja yang lebih baik untuk merespon berbagai masalah-masalah yang ada,” ungkapnya.

Sementara itu, Septa Dinata menerangkan latar belakang menulis buku biografi Gus Yahya ini tak lepas dari sejarah dan akumulasi peran agen-agen dan interaksinya di dalam masyarakat.

Sebaliknya, karakter agen yang ada di dalam masyarakat juga ditentukan oleh sejarah yang mewujud menjadi struktur sosial.

“Makanya ulasan-ulasan buku ini menjelaskan dulu konteks struktural di bagian pertama saya mencoba untuk meneropong kultural setting di mana Gus Yahya ini lahir. Kita Letakkan di situ konteks kelahiran beliau di cultural setting seperti itu dan beliau mewarisi darah ulama-ulama besar mulai dari buyut beliau sendiri itu juga ulama besar di Sarang kemudian kakek beliau sendiri di Leteh juga ulama besar mubalig, politisi dan penulis yang hebat,” kata Septa Dinata.

Dalam bukunya, Septa Dinata mengulas sosok Gus Yahya yang merupakan hasil dari interaksi dari lingkungannya.

Dialektika antara dirinya dan struktur sosial yang lebih luas memiliki hubungan timbal balik (resicprocal relation) dalam pembentukan kepribadiannya.

Menurutnya, keluarga sebagai primary atau nuclear element di dalam masyarakat memiliki peran yang utama dalam membentuk seseorang. Gus Yahya tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren.

“Selain ayahnya yang dikenal sebagai ulama besar, ia juga sangat diuntungkan dengan sosok lain dalam keluarganya yaitu kakeknya KH. Bisri Mustafa dan pamannya KH. Mustofa Bisri yang turut serta membentuk dirinya. Dalam diri Gus Yahya mengalir darah ulama-ulama besar," ujar Septa

Gus Yahya merupakan putra pertama KH. Muhammad Cholil Bisri. Kyai Cholil dikenal dikenal luas keulamannya, terutama dalam kalangan nahdliyyin. Ia wafat pada 2004 dengan umur 62 tahun.

“Kyai Cholil banyak menghabiskan masa kecilnya di pengungsian karena keterlibatan ayahnya dalam dinamika politik saat itu. Ia banyak menyaksikan perjuangan Laskar Hisbullah karena pada saat itu ayahnya, KH. Bisri Musthofa, turut serta bersama santri-santri lainnya mengangkat senjata,” ungkapnya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini