Menurut Connie, sejak abad ke-7 perempuan Aceh sudah sangat menonjol perannya di Nusantara, karena masyarakat Aceh menganut budaya matriarki. Sejarah Aceh juga melahirkan sejumlah negarawan perempuan. "Sikap digdayanya perempuan Aceh itu juga karena ajaran Islam yang kuat," ujar Connie.
Mulai terpinggirkannya peran perempuan di Aceh, menurut Connie, terjadi setelah perang kemerdekaan Indonesia karena pengaruh budaya Arab yang cenderung mengenyampingkan peran perempuan dalam keseharian.
Penulis Buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh, Qismullah Yusuf mengungkapkan, perempuan Aceh berperan di sejumlah bidang antara lain di bidang diplomasi, perdagangan, pendidikan, dan membangun jaringan di Nusantara.
Langkah membangun jaringan itu, ujar Qismullah, dibuktikan dengan adanya sembilan sultan di Aceh yang bukan orang asli Aceh, tetapi orang Bugis.
Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti berpendapat, di Nusantara pada masa lalu bukan hanya perempuan Aceh yang banyak berkiprah, namun juga perempuan di sejumlah daerah lainnya.
Sangat disayangkan, ujar Titi, di masa kini masih banyak pihak yang mensubordinasikan perempuan terhadap laki-laki.
Meski begitu, diakui Titi, sejak dulu sampai sekarang di Nusantara ini selalu saja ada tempat bagi perempuan.
Sangat disayangkan, tambahnya, ketika ada sejumlah kesempatan dibuka justru dari pihak perempuannya sendiri belum memiliki kemampuan yang memadai.
Akademisi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Asna Husin berpendapat ada sejumlah faktor yang menyebabkan perempuan bangkit.
Dalam konteks ilmu pengetahun, ujar Asna, kebangkitan itu dimulai dengan takjub terhadap sesuatu sehingga berupaya keras untuk mewujudkannya.
Menurut Asna, dibutuhkan arah perjuangan yang jelas dalam upaya mewujudkan kesamaan hak-hak perempuan di tanah air.
Indonesia hari ini, menurut Asna, dalam membangun demokrasi hanya sebatas fisik semata, namun belum memiliki infrastruktur demokrasi. Akibatnya, tambah dia, hasil praktik demokrasi kita tidak sesuai harapan.
Akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Ahmad Humam Hamid menilai Buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh tidak semata tentang kepahlawanan perempuan Aceh, tetapi juga tentang keterlibatan perempuan dengan pengelolaan pemerintahan dan pemikir.
Dengan kondisi itu, menurut Ahmad Humam, Aceh hebat akan memproduksi pemimpin perempuan, Aceh dalam keadaan perang menghasilkan pahlawan perempuan.
Konektivitas antar suku bangsa, jelas Ahmad Umam, adalah kunci dari lahirnya tokoh-tokoh perempuan dari Aceh. Karena kerajaan Aceh di masa itu adalah kerajaan maritim yang mengedepankan sektor perdagangan.