Terpilihnya Mega pun membuat pemerintah saat itu kaget.
Pemerintah pun menganggap Megawati sebagai ketua umum yang tidak sah dan berusaha mendongkel melalui seorang pengurus PDI saat itu, Fatimah Ahmad.
Kemudian Fatimah Ahmad pun menggelar Kongres PDI di Medan pata tahun 1996 untuk menaikan kembali Soerjadi yang menjadi lawan Mega pada pemilihan sebelumnya.
Namun Mega menolak kongres tersebut dan tetap teguh jika dirinyalah Ketua Umum PDI yang sah.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman dengan merebut paksa Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Peristiwa ini dikenal dengan Kudatuli dan membuat terjadinya kerusuhan pada 27 Juli 1996.
Mega pun melawan dan tekanan politik yang dihadapinya mengundang empati dan simpati dari masyarakat luas.
Akibatnya PDI terbagi menjadi dua yaitu kubu Mega dan kubu Soerjadi.
Dualisme ini pun menimbulkan masalah bagi Mega karena walaupun didukung masyarakat tetapi dianggap tidak sah oleh pemerintah.
Hal ini mengakibatkan kubu partainya tidak dapat mengikuti Pemilu 1997.
Lalu ketika Orde Baru tumbang, PDI kubu Mega mengganti nama menjadi PDI Perjuangan dan berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengna merai lebih tiga puluh persen suara.
Raihan ini membuat Mega pada posisi paling patut untuk menjadi presiden dibanding kader partai lainnya.
Sayangnya dirinya harus kalah pada Sidang Umum MPR tahun 1999.
Ia pun menjadi wakil presiden dari Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.