Sebab saat penandatanganan kontrak, belum ada anggaran dalam APBN untuk pengadaan tersebut.
"Itu terjadi dalam kurun waktu 2015-2016. Kontrak kontrak itu dilakukan untuk membuat Satelit Komunikasi Pertahanan, dengan nilai sangat besar padahal anggarannya belum ada," jelas Mahfud.
Baca juga: Negara Rugi Rp819 Miliar, Mahfud MD dan Kejagung Tindak Lanjuti Proyek Satelit Kemhan
Oleh karena kontrak tanpa anggaran negara menyalahi prosedur, pihak yang ikut perjanjian yakni Avanti menggugat pemerintah Indonesia di London Court of International Abitration, lantaran Kemhan tak membayar sewa satelit sesuai nilai kesepakatan kontrak.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase di Inggris menjatuhi putusan pemerintah Indonesia wajib membayar uang sewa satelit Artemis plus biaya arbitrase, konsultan, dan biaya filling dengan nilai Rp515 miliar.
Pemerintah Indonesia juga menerima putusan serupa dari pengadilan arbitrase Singapura untuk membayar 20,9 juta dolar AS atau setara Rp304 miliar kepada Navayo.
"Selain dengan PT Avanti tadi, juga pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi, nilainya sampai sekarang itu 20,9 juta dolar AS ke Navayo, yang 20 juta ini nilainya Rp304 miliar," kata Mahfud.
Potensi kerugian negara ini bisa terus membengkak jika perusahaan lain seperti Detente, Airbus, Hogan Lovel dan Telesat turut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase.
Berkenaan dengan ini Mahfud telah meminta Kejaksaan Agung untuk mempercepat proses penanganan masalah tersebut.
"Ini sudah lama jadi perhatian Kejaksaan Agung, dan kami sendiri melakukan audit investigasi. Kami mengonfirmasi bahwa benar Kejaksaan Agung sedang sudah cukup lama menelisik masalah ini, dan kami sampaikan konfirmasi kami bahwa itu memang benar, sehingga kami menyampaikan ke Kejaksaan Agung untuk segera ditindaklanjuti, karena kalau ada suatu pelanggaran hukum dari sebuah kontrak kalau kita harus bayar, itu kita harus lawan," ucap Mahfud.