TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Edy Mulyadi kembali dilaporkan ke polisi atas buntut pernyataan di akun YouTube-nya tentang Ibu Kota Negara di Kalimantan.
Kali ini, Edy Mulyadi dilaporkan oleh DPP Pandawa Nusantara.
Sekjen DPP Pandawa Nusantara Faisal Anwar menyampaikan pernyataan Edy dinilai telah merendahkan martabat masyakarat Kalimantan.
Sebaliknya, pernyataan itu dapat mengganggu keutuhan NKRI.
"Kami dari DPP Pandawa Nusantara pada hari ini, Selasa 25 Januari 2022 mendatangi kantor Bareskrim Polri untuk melaporkan ucapan yang disampaikan oleh EM terkait dengan ucapan yang mengandung merendahkan harkat dan martabat orang Kalimantan yang ke depan bisa berpotensi mengganggu keutuhan NKRI dan mengusik semua aspek kehidupan bernegara," kata Faisal di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (25/1/2022).
Baca juga: Sekjen MADN: Pernyataan Edy Mulyadi Sudah Melecehkan Masyarakat Kalimantan, Segera Proses HukumÂ
Indonesia, kata Faisal, terlahir dengan berbagai macam suku, ras, agama yang sangat majemuk.
Hal ini dinilai sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia.
Karena itu, Faisal menilai bahwa kesadaran saling toleransi dan tenggang rasa sesama anak bangsa harus dipelihara dan dijaga untuk keutuhan NKRI.
"Pernyataan yang disampaikan oleh Saudara EM terkait dengan isu pemindahan ibu kota negara (IKN) dengan menyebutkan hanya kuntilanak, gunderuwo, dan setan yang mau pindah kesana sontak mengoyak dan mencabik kemajemukan yang selama ini kita jaga," jelas Faisal.
Lebih lanjut, Faisal mengharapkan Polri bakal menindak dan memproses laporan tersebut. Hal ini untuk menjaga keutuhan bangsa negara.
"Kami berharap kepada Polri untuk dapat melanjutkan dan memproses laporan yang kami ajukan, semoga kedamaian dan ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara di waktu yang akan datang dapat terus terjaga dan terpelihara," pungkas dia.
Atas perbuatannya itu, pelapor mensangkakan Edy Mulyadi dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA. Selain itu, pasal 45A ayat 2 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Adapun ancaman hukumannya mencapai 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.