Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan ada dua skema yang bisa digunakan untuk mengembalikan aset negara dalam rangka penyelesaian perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dua skema itu adalah Master Settlement and Acquitition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA).
Kata Legislator Golkar tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menyita berbagai aset dari obligor dan debitur BLBI.
Baca juga: Legislator PDIP: Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Bakal Bantu Penanganan Kasus BLBI
Setelah BPPN dibubarkan, berbagai sitaannya diserahkan ke Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Pun, dia mengingatkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mencermati praktik patgulipat obligor maupun debitur dalam menguasai aset yang sebenarnya telah disita pemerintah.
Menurutnya, biasanya obligor maupun debitur BLBI menggunakan pihak lain sebagai kendaraan (vehicle) untuk kembali menguasai aset yang pernah dirampas negara.
Baca juga: Penagihan Tahap II, Satgas BLBI Sita 159 Bidang Tanah Aset Jaminan Grup Texmaco di 6 Kabupaten/Kota
“Sudah jelas ketentuannya bahwa tidak boleh pemilik lama itu menjadi pemilik kembali dari aset, tetapi proses vehicling terjadi,” ujar Misbakhun pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi XI DPR dengan Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban, di Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu mencontohkan sebuah pabrik tekstil di Solo, Jawa Tengah, yang sebelumnya disita untuk pemulihan aset negara.
Ternyata, pemilik lama bisa memiliki pabrik itu lagi.
“Bagaimana mungkin setelah dibeli oleh seorang notaris, kembali kepada pemilik lamanya. Kalau pemerintah mau menuntut, itu bisa,” ujar Misbakhun.
Ia menegaskan negara mengeluarkan banyak uang untuk BLBI. Sebab, dana BLBI yang dikucurkan mencapai Rp 600 triliun.
“Menurut saya, perhatian yang lebih serius harus ditujukan ke soal itu,” tegasnya.
Misbakhun menambahkan pemerintah dan BI masih menanggung beban pengucuran BLBI tersebur. Selain itu, pemerintah juga belum melunasi obligasi rekap ke BI yang bunganya 0,01 persen.
“BI tidak bisa melakukan upaya-upaya lain selain menjadikan itu lindung nilai. Ini masalah yang sangat serius berkaitan beban utang kita,” katanya.