Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan konstruksi perkara milik Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia Isnu Edhy Wijaya (ISE).
Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan surat tanda penduduk elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu baru saja ditahan KPK.
"Setelah adanya kepastian akan dibentuknya beberapa konsorsium untuk mengikuti lelang e-KTP maka pada sekitar bulan Februari 2011, Andi Agustinus bersama dengan ISE menemui Irman dan Sugiharto dengan maksud agar salah satu dari konsorsium tersebut dapat memenangkan proyek KTP elektronik," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di kantornya di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Atas permintaan tersebut, lanjut Lili, Irman menyetujui dan meminta adanya komitmen pemberian uang kepada anggota DPR RI.
Setelah adanya pengumuman pekerjaan penerapan e-KTP tahun anggaran 2011-2012, pada 28 Februari 2011 Isnu, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos (PLS), dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk konsorsium PNRI sebagai salah satu dari tiga konsorsium yang dibahas antara Andi Agustinus, Isnu, Paulus, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, PNS BPPT Husni Fahmi (HSF) dan pihak-pihak vendor untuk mengikuti lelang pekerjaan penerapan e-KTP.
"Sebelum konsorsium dibentuk, Anang Sugiana pemilik PT Quadra Solutions, menemui ISE di kantor PNRI, untuk menyampaikan keinginannya mengikuti pelaksanaan proyek e-KTP," kata Lili.
Baca juga: Korupsi e-KTP, KPK Agendakan Pemeriksaan Eks Dirut PNRI Isnu Edhi Wijaya Sebagai Tersangka
Dalam pertemuan itu, Isnu diduga menyampaikan pada Anang Sugiana bahwa proyek e-KTP pada Kemendagri merupakan "milik" Andi Agustinus.
Kemudian dilakukan pertemuan di kantor PNRI yang dihadiri oleh Anang Sugiana, Andi Agustinus, Paulus Tannos dan Isnu Edhy Wijaya.
Pada pertemuan tersebut, Anang Sugiana menyampaikan bahwa PT Quadra Solution bersedia untuk bergabung di konsorsium PNRI, kemudian Andi Agustinus, Paulus dan Isnu menyampaikan apabila ingin bergabung dengan konsorsium PNRI maka ada komitmen fee untuk pihak lain sebesar 10%, yaitu dengan rincian 5% untuk DPR RI dan 5% untuk pihak Kemendagri, yang kemudian disanggupi oleh Anang Sugiana.
"ISE juga sempat menemui HSF (Ketua Tim Teknis BPPT) untuk konsultasi masalah teknologi, dikarenakan BPPT sebelumnya melakukan uji petik e-KTP pada tahun 2009," kata Lili.
"Kemudian ISE mengundang HSF untuk melakukan presentasi tentang teknologi e-KTP pada pertemuan di Fatmawati," imbuhnya.
Baca juga: KPK Periksa Eks Dirut PNRI dalam Korupsi Proyek e-KTP
Pada saat itu, kata Lili, Isnu bertindak sebagai Ketua Konsorsium PNRI. Pemimpin konsorsium disepakati berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PNRI, agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan KTP elektronik.
Lili berkata, Isnu juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan tersangka Paulus untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5% sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
"Berdasarkan kesepakatan hasil pertemuan tersebut, Perum PNRI bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5% dari jumlah pekerjaan yang diperoleh," katanya.
Lili menuturkan, ada rentang waktu antara April sampai dengan Juni 2011, Paulus, Isnu, dan pihak-pihak vendor dalam konsorsium melaksanakan beberapa pertemuan untuk membahas harga barang dan margin keuntungan yang diharapkan, sehingga bisa diajukan harga penawaran.
"ISE bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp5,8 triliun," tuturnya.
Baca juga: Korupsi e-KTP, KPK Dalami Peran Isnu Edhi Wijaya Sebagai Dirut Perum PNRI
Kemudian, pada 30 Juni 2011, Sugiharto menunjuk konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP elektronik) tahun anggaran 2011-2012.
Untuk melaksanakan kontrak tersebut, Isnu membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan kepada anggota konsorsium. Isnu juga mengusulkan adanya ketentuan setiap pembayaran dari Kemendagri untuk pekerjaan yang dilakukan oleh anggota konsorsium akan dipotong 2% sampai 3% dari jumlah pembayaran untuk kepentingan manajemen bersama.
"Padahal di dalam rincian penawaran senilai Rp5,8 triliun tidak ada komponen tersebut dan seharusnya semua pembayaran digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan," ujar Lili.
Lili berujar, hasil pemotongan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai hal-hal di luar penawaran dan juga digunakan untuk operasional Managemen Bersama Konsorsium PNRI.
Pemotongan sebesar 3% tersebut pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan prestasi Perum PNRI itu sendiri.
"Semua pekerjaan dalam kontrak tersebut tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdapat izin secara tertulis dari Sugiharto selaku PPK. Namun konsorsium PNRI terbukti mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto. Selain itu, dalam pelaksanaannya konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak," ujarnya.
KPK pada sekitar Agustus 2019 telah mengumumkan empat tersangka baru dalam perkara ini.
Baca juga: KPK Periksa Tersangka Mantan Dirut Perum PNRI, Isnu Edhi Wijaya
Mereka yaitu Miryam S. Haryani, anggota DPR RI 2014-2019; Paulus Tanos, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra; Isnu Edhy Wijaya, Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia; dan Husni Fahmi, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, PNS BPPT.
Dalam perkara korupsi e-KTP ini, kerugian keuangan negara negara kurang lebih sebesar Rp2,3 triliun.