Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menolak seluruh eksepsi atau nota keberatan eks pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Alfred Simanjuntak.
Satu di antara poin eksepsi yang ditolak itu terkait dengan dalil keberatan penggabungan perkara.
Dalam eksepsinya, Alfred keberatan perkara yang menjeratnya digabungkan oleh terdakwa lain dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sama yakni Wawan Ridwan.
Alfred melalui tim kuasa hukum menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 141 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009, maka penggabungan perkara TPPU terdakwa Wawan Ridwan ke dalam dakwaan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan tersebut," kata jaksa Rikhi B Maghaz dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (8/2/2022).
Baca juga: Jaksa KPK Minta Hakim Tolak Seluruh Eksepsi Eks Pejabat Ditjen Pajak Alfred Simanjuntak
Rikhi menyatakan penggabungan perkara yang diterapkannya untuk dua terdakwa ini guna menghindari adagium 'justice delayed justice denied' yang artinya proses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan kepada para pihak.
Dengan demikian kata Rikhi, penggabungan perkara TPPU terdakwa Wawan Ridwan tersebut merupakan upaya pihaknya untuk mematuhi ketentuan pasal 2 ayat (4) UU No 48 tahun 2009 dalam hal melaksanakn peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
"Sehingga, dengan dilakukannya penggabungan perkara TPPU terdakwa Wawan Ridwan akan berjalan cepat, yang artinya keadilan atas perkara a quo lebih cepat tercapai," ujar Rikhi.
Selain itu, kata Rikhi, pada dakwaan yang dijatuhkan untuk kedua terdakwa, sudah dipertegas secara limitatif bahwa pada dakwaan ketiga dan keempat dikhususkan untuk terdakwa Wawan Ridwan.
Dengan begitu, Rikhi meyakini penerapan penggabungan perkara itu tidak akan berpengaruh pada proses hukum Alfred Simanjuntak.
"Dengan demikian, cukup beralasan untuk menyatakan dalil keberatan eksepsi penasihat hukum terdakwa Alfred tersebut harus ditolak dan dikesampingkan," tukas Rikhi.
Diketahui dalam perkara ini, Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa dua mantan tim pemeriksa pajak pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak, menerima suap sebesar Rp15 miliar dan 4 juta dolar Singapura.
Suap itu disebut diterima bersama-sama dengan anggota tim pemeriksa pajak lainnya, yaitu Yulmanizar dan Febrian.
Perkara ini merupakan pengembangan dari kasus dua mantan pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Angin Prayitno serta Dadan Ramdani.
Keduanya saat ini juga tengah menjalani proses persidangan.
"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima hadiah atau janji yaitu menerima uang yang keseluruhannya sebesar Rp15 miliar dan SGD4 juta. Di mana para terdakwa menerima masing-masing sebesar SGD606,250," bunyi surat dakwaan keduanya dikutip Tribunnews.com, Rabu (26/1/2022).
Penerimaan suap diberikan bersama-sama dengan Angin Prayitno Aji, Dadan Ramdhani, Yulmanizar dan Febrian merekayasa hasil penghitungan pajak pada wajib pajak PT Gunung Madu Plantations (GMP) untuk tahun pajak 2016; wajib pajak PT Bank PAN Indonesia (Bank Panin) Tbk tahun pajak 2016; dan wajib pajak PT Jhonlin Baratama (JB) untuk tahun pajak 2016 dan 2017.
Jaksa mengungkapkan, saat menjabat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Angin Prayitno Aji membuat kebijakan untuk mendapatkan keuntungan dari pemeriksaan kepada wajib pajak.
Kemudian, Angin Prayitno Aji memberitahukan kepada para Supervisor Tim Pemeriksa Pajak agar pada saat melaporkan hasil pemeriksaan sekaligus melaporkan fee untuk pejabat struktural Direktur dan Kasubdit, serta untuk jatah Tim Pemeriksa Pajak dimana pembagiannya adalah 50 persen untuk pejabat struktural terdiri atas Direktur dan Kepala Sub Direktorat.
"Sedangkan 50 persen lainnya untuk jatah Tim Pemeriksa Pajak," ujar jaksa.
Adapun rincian uang yang diterima yakni, sebesar Rp15 miliar dari Konsultan Pajak Ryan Ahmad Ronas dan Aulia Imran Maghribi yang mewakili PT Gunung Madu Plantations, pada Januari-Februari 2019.
Selanjutnya, juga menerima uang sebesar 500 ribu dolar Singapura dari kuasa wajib pajak Bank Panin, Veronika Lindawati, pada pertengahan 2018.
Uang 500 ribu dolar Singapura yang diduga diterima Angin dan Dadan itu merupakan fee dari total komitmen awal sebesar Rp25 miliar.
Terakhir, penerimaan uang dengan nilai total sebesar 3 juta dolar Singapura dari Agus Susetyo selaku perwakilan atau konsultan hukum PT Jhonlin Baratama.
Uang itu diterima keduanya pada Juli-September 2019.
Wawan dan Alfred didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Khusus Wawan, juga dikenakan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.