Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat Indonesia akan rugi jika rencana pembelian 42 pesawat tempur Dassault Rafale dan kapal selam Scorpene dari Perancis batal.
Fahmi memandang yang terpenting dari pembelian tersebut adalah potensi peningkatan kapabilitas pertahanan Indonesia, bukan konteks geopolitiknya.
Jika terealisasi, kata dia, maka postur pertahanan Indonesia akan lebih baik.
Postur pertahanan yang kuat, lanjut dia, tentu saja akan berdampak pada upaya pengamanan kepentingan nasional dan meningkatkan pengaruh Indonesia juga secara geopolitik.
"Jika tidak terealisasi ya tentu saja kita juga mengalami kerugian yang tak sedikit, baik dari aspek kapabilitas maupun geopolitik, yang ditandai lemahnya kemampuan kita dalam mengamankan teritorial dan kepentingan nasional maupun posisi tawar kita dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis," kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (11/2/2022).
Fahmi berpendapat desakan untuk mengevaluasi dan memodernisasi alutsista milik TNI kencang disuarakan.
Meski Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan telah mengutarakan komitmennya untuk terus memodernisasi alutsista.
Namun, kata dia, hal itu tidak mudah dilakukan di tengah keterbatasan anggaran dan kondisi pandemi yang tak kunjung reda.
Ia mengatakan, dibutuhkan ruang fiskal yang memadai untuk menjawab harapan masyarakat agar TNI dapat segera menggunakan alutsista muda, berteknologi terkini, dan mumpuni.
Fahmi menilai Indonesia menghadapi tantangan dan ancaman yang tidak kecil baik dari dalam maupun dari luar negeri terhadap kedaulatannya.
Baca juga: Pengamat Ungkap Dampak Buruk Jika Pembelian Jet Tempur Rafale Tidak Terealisasi
Data SIPRI mencatat, lanjut dia, lima negara terbesar yakni Amerika Serikat, Tiongkok, India, Rusia dan Inggris terus meningkatkan belanja pertahanannya.
Mereka, kata Fahmi, mewakili sekitar 62 persen anggaran belanja militer global.
Tiongkok, lanjut dia, bahkan terus mencatat kenaikan signifikan sepanjang 26 tahun terakhir.
"Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis," kata Fahmi.
Karena itu, menurutnya sebenarnya cukup sulit dan dilematis juga bagi pemerintah untuk menyikapinya.
Dengan demikian menurutnya urgensi antara pembangunan kesejahteraan di satu sisi, dan upaya menjaga kemampuan pertahanan untuk menangkal gangguan dan ancaman terhadap kedaulatan negara di sisi lain tidak bisa lagi terus dibenturkan.
"Perang, bagaimanapun harus selalu diposisikan mungkin hadir dan terjadi. Karena itu, pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan merupakan salah satu cara untuk memperkecil ancaman terjadinya perang," kata Fahmi.