Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI membeli 42 unit pesawat tempur Dassault Rafale dari Perancis memicu pro dan kontra di masyarakat.
Pihak yang pro berpandangan pengadaan tersebut dibutuhkan dengan sejumlah alasan, di antaranya terkait urgensi modernisasi alutsista TNI, situasi geopolitik, maupun geostrategis.
Sedangkan pihak yang kontra berpandangan masih ada persoalan yang lebih penting diselesaikan untuk memperkuat sistem pertahanan udara yakni penyelesaian wilayah kedaulatan udara.
Terlepas dari polemik tersebut, lalu bagaimana pandangan dari pilot yang pernah menjajal pesawat tempur Dassault Rafale secara langsung?
Apa saja kelebihan dan kekurangan pesawat tempur berteknologi tinggi tersebut dari sisi seorang pilot pesawat tempur?
Purnawirawan TNI Angkatan Udara (AU) yang juga mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan RI Marsekal Madya TNI (Purn) Eris Herryanto menyampaikan pendapat pribadinya sebagai seorang pilot pesawat tempur yang pernah menjajal langsung Dassault Rafale.
Eris mengungkapkan ia mendapat kesempatan menerbangkan langsung Rafale pada 2014 lalu.
Meskipun hanya sekali menerbangkan Rafale, tetapi pengalaman Eris menerbangkan pesawat tempur tidak main-main.
Baca juga: Soal Rencana Pembelian 42 Pesawat Tempur Rafale, Mantan KSAU Ingatkan soal Kontrak
Pesawat tempur generasi 2 yang pernah ia terbangkan adalah F-86 Sabre.
Pada generasi 3, ia pernah menerbangkan pesawat tempur F-5.
Di generasi 4, ia pernah menerbangkan F-16 Blok 15.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar Pusat Studi Air Power Indonesia bertajuk Menyongsong Pesawat Rafale yang digelar pada Kamis (17/2/2022).
"Dan generasi 4.5 yang pernah saya coba adalah Eurofighter dan juga Rafale. Ini merupakan pengalaman yang pernah saya alami sehingga saya bisa menyampaikan aspek-aspek yang dilihat seorang penerbang tempur," kata Eris.
Menurutnya Rafale memiliki keunggulan dan juga kelemahan dari sisi konfigurasi sayap.
Rafale merupakan pesawat tempur yang menggunakan sayap delta atau delta wing.
Pada dasarnya, kata Eris, pesawat dengan delta wing tidak begitu lincah karena aeordinamic centernya jauh berada di belakang center of gravity dari pesawat.
Baca juga: Kemhan RI Beli 42 Pesawat Tempur Rafale dari Prancis, Lesperssi: Kita tidak Perlu Takut Diembargo
Hal tersebut, kata Eris berpengaruh pada kestabilan pesawat.
Namun demikian, kata dia, Rafale tetap lincah karena memiliki kanard di depan.
"Kalau boleh saya gambarkan di dalam kurang waktu 2 detik pesawat ini bisa ditarik maksimum G apabila speednya cukup, yang di sini tertulis 9G dalam waktu kurang dari 2 detik. Ini adalah karena lincahnya pesawat ini," kata dia.
Selain itu, kata Eris, Rafale juga lebih ringan dibandingkan pesawat lainnya karena dilengkapi dengan teknologi fly by wire.
Karena ringan, pesawat tersebut bisa membawa peralatan yang lebih banyak.
Namun demikian, kata dia, salah satu kelemahan delta wing adalah tidak didesain untuk pertempuran jarak dekat yang berkelanjutan.
Baca juga: Menhan Prabowo Boyong Jet Tempur Rafale, Pengamat: Indonesia Semakin Disegani
Ia menjelaskan delta wing akan lebih cepat kehabisan energi apabila digunakan untuk manuver.
"Ini kelemahan dari delta wing. Dan ini pernah saya tanyakan ke desainer pesawat Eurofighter dan dia tidak mengingkari pendapat ini. Dan mereka hanya menyampaikan bahwa desain dari delta wing adalah untuk mengejar pesawat secepatnya terhadap target, meluncurkan misil," kata dia.
Selain itu, kata dia, apabila pesawat tersebut diterbangkan dengan kondisi full military power maka bahan bakar akan habis dalam waktu 35 menit.
"Apabila saya menggunakan after burner maka dalam 25 menit fuel saya akan habis. Ini penting buat kita bagaimana akan memanage energy kita saat kita melakukan dog fight atau combat di suatu area," kata dia.
Begitu pula dari sisi avioniknya.
Menurut Eris, avionik dari Rafale juga memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Salah satu kelebihan dari sisi avioniknya, kata Eris, Rafale menggunakan Active Electronically Scanned Array (AESA) Radar.
Dengan teknologi tersebut, kata dia, maka akurasi radar akan sangat baik dan juga jarak yang dicapai akan lebih jauh dan akurat.
Namun demikian, kata Eris, Rafale tidak sepenuhnya bisa dikatakan memiliki kemampuan siluman atau stealth yang mampu memencar sinyal radar meskipun memang ada perbaikan-perbaikan terhadap inlet dan juga penataan-penataan engine compressor sehingga tidak mengirim balik dari electronic signal itu ke radar pengirim.
"Namun tidak sepenuhnya bisa dikategorian stealth apalagi Rafale ini membawa 14 external store yang tentunya akan membawa radar cross section dari pesawat itu sendiri," kata Eris.
Selain itu, Rafale dilengkapi Optronique Secteur Frontal (OSF).
OSF, kata dia, adalah peralatan elektronik yang digunakan untuk membantu penembakan Beyond Visual Range (BVR) Missile MICA baik itu infrared maupun electromagnetic.
Selain itu, kata dia, hal yang menurutnya sangat penting ada di Rafale adalah Defensive Aid System Spectra.
Bagi seorang penerbang tempur, kata dia, Spectra sangat penting karena mengamankan pilot di daerah-daerah operasi.
"Apabila kita dideteksi apakah itu radar peluru kendali, atau radar musuh, atau pesawat musuh maka memberikan signal kepada kita dan pesawat akan bisa melakukan apa itu jamming atau decoy sehingga kita tidak mudah didetect atau diketahui oleh pesawat lawan," kata dia.
Selain itu, kata Eris, avionik yang ada di pesawat Rafale terintegrasi dalam modular system.
Dari sisi persenjataan, Eris sangat kagum dengan Rafale yang bisa membawa banyak sekali jenis persenjataan baik itu Air to Surface Missile, kemudian Air to Air Missile Meteor, Sea Skimming Missile, Air to Air Missile MICA, Cruise Missile, hingga Nuclear Missile ASMP.
"Tentunya kita tidak akan membutuhkan persenjataan ini (Nuclear Missile ASMP) karena memang persenjataan ini dibuat Perancis dan digunakan oleh Perancis sendiri," kata dia.
Dari sisi Maintenance Repair dan Overhaul (MRO), menurutnya sistem modul yang digunakan Rafale memilki keunggulan dan kelamahan.
Menurutnya mengatasi troubleshooting Rafale relatif cepat karena hanya tinggal ganti modul maka Rafale bisa terbang lagi.
Namun demikian, kata dia, di dalam pemeliharaan agak sulit.
"Karena kita harus membongkar modul tersebut. Tidak semua pabrik memberikan izin untuk membongkar kecuali kalau kita diberikan peralatan, apakah itu avionics intermediate shop yang bisa membongkar modul-modul tadi. Jadi tentunya kalau kita ingin membuat sistem MRO akan ada investasi terhadap peralatan-peralatan yang akan kita rawat," kata dia.
Dari sisi lain, menurutnya Rafale akan unggul dalam misi air to ground atau udara ke darat.
Eris mengatakan hal itu karena Rafale bisa membawa peluru-peluru kendali udara ke darat.
Selain itu, Rafale juga dilengkapi dengan peluru kendali yang dapat digunakan untuk pertahanan diri apabila diserang pesawat lain.
"Jadi menurut saya penting diketahui bahwa misi yang paling heavy, walaupun pesawat ini multi role maka air to ground ini yang diunggulkan di pesawat Rafale," kata dia.
Menurutnya, Rafale akan mengalami kesulitan untuk misi air to air atau udara ke udara.
Eris mengatakan Rafale akan kehilangan energi apabila digunakan bermanuver dalam durasi yang relatif panjang.
Hal itu, kata Eris, disebabkan bentuk sayapnya yang delta wing.
Begitupun dari sisi bahan bakar.
Eris mengatakan apabila dia hanya membawa peluru kendali full military power maka hanya bisa terbang selama 35 menit.
"Walaupun dinyatakan Rafale ini bisa fight dengan slow speed. Namun saya berpendapat dengan slow speed bisa tidak menguntungkan karena pasti dia dalam posisi defensive, tidak bisa offensive. Oleh karena itu kurang menguntungkan kalau ini memang diperuntukkan untuk air to air," kata dia.