“Misal kegiatan terorisme, separatism, serta kegiatan yang bertentangan dengan hukum Indonesia lainnya. Aturan ini sama berlakunya terhadap kegiatan Ormas yang didirikan oleh warga negara asing yang beroperasi di Indonesia,” pungkasnya.
Sebelumnya Pemerintah disebut mulai membatasi pendanaan dan pendaftaran organisasi non-pemerintah (ornop) atau non-governmental organization (NGO).
Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, dalam webinar 'Resiko Membongkar Oligarki: Kaitan Investigasi Korupsi dan Kebebasan Berekspresi' yang ditayangkan kanal YouTube IM57+ Institute, Sabtu (19/2/2022).
Baca juga: KSP Nilai Pengembangan KEK Mandalika Miliki Potensi Bisnis Bagi UMKM Sebesar Rp 2,2 Triliun
Dalam diskusi itu, dia berbicara soal empat ancaman terkini terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, salah satunya terkait pembatasan pendanaan dan pendaftaran tersebut.
"Tidak terlalu kelihatan tapi sebenarnya tengah terjadi, terus terang saja sejak pemerintahannya Pak Jokowi," ucap Bivitri.
Bahkan, disebutkan Bivitri, sampai ada beberapa organisasi internasional yang meminta tolong kepada dirinya untuk memberi penjelasan mengapa pendaftaran dan pendanaan NGO menjadi sulit.
"Silahkan tanya kawan-kawan yang bergiat di ornop-ornop," katanya.
"Kenapa misalnya mereka sangat dipersulit untuk bergerak di Indonesia, dalam hal keimigrasian dan sebagainya, dan tak bisa beri dana ke masyarakat sipil, harus ke kementerian," lanjut Bivitri.
Ancaman kedua yaitu serangan dan kekerasan siber.
Bahkan, Bivitri mengaku sempat mendapatkan serangan siber yang bersifat seksual dalam sebuah pertemuan virtual via zoom beberapa waktu lalu.
"Cukup mengerikan dan traumatis," katanya.
Lalu ancaman ketiga yaitu penggunaan sistem peradilan (juducial harassment).
Bivitri melihat ancaman ini sangat parah dan harus dibongkar.
Seperti kasus antara penggiat HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.