“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Dalam UU Lalu-lintas, disebutkan bahwa ada tiga kategori kecelakaan, yaitu ringan, sedang dan berat (Pasal 229 ayat 1huruf a,b. c). Dalam ayat 4 kemudian disebutkan, kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Dengan hukum tertulis tersebut, dalam hal pelanggaran lalu-lintas kategori berat yang menelan korban nyawa, penyelesaiannya mutlak memerlukan kehadiran negara. Dalam hal ini, polisi tidak perlu mematuhi kesepakatan kedua pihak antara pelaku dan keluarga korban. Justru sebaliknya, pelaku dan keluarga korban harus tunduk pada hukum.
Kehadiran negara perlu demi tegaknya hukum. Sebab, dalam pasal 106 ayat (1) disebutkan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”.
Lalu ayat (2) berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.”
Musibah memang tidak ada yang tahu dan semua orang tidak menginginkan musibah terjadi. Namun, kehati-hatian menjadi syarat mutlak dalam berlalu-lintas.
Bagaimana pun, pengendara dituntut konsentrasi penuh dalam menjalankan kendaraannya, apalagi di depan ada dua anak kecil (kembar) usia delapan tahun sedang menyebrang.
Maka, sudah sepantasnya penyebrang jalan, apalagi masih bocah, mendapat perhatian penuh dari sang pengendara demi keselamatann nyawanya.
Ada pun menyangkut uang duka atau santunan, merupakan sisi kemanusiaan dari sang pelaku terhadap keluarga korban. Memberi uang duka, menunjukkan empati pada keluarga korban yang sekaligus pelaku tidak memiliki unsur kesengajaan.
Tapi, sekali lagi, uang duka tidak menggugurkan Pasal 310 ayat (4) UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan. Empati ini hanya akan menjadi pertimbangan hakim dalam memperingan hukuman.
Yang juga perlu diperhatikan, kesepakatan antara pengendara Harley Davidson dan pihak keluarga korban, yang diwakili Iwa Kartiwa, secara hukum tidak mengikat. Pertama, seperti dikatatan di atas, dalam hukum pidana tak dikenal kesepakatan damai kecuali restorative justice. Kedua, hubungan antara Iwa Kartiwa dan korban bukan hubungan anak dan orangtua. Jadi secara hukum tidak bisa mewakili kepentingan keluarga korban.*