TRIBUNNEWS.COM - Komnas HAM mengomentari soal pencabutan larangan keturunan PKI untuk mendaftar menjadi calon prajurit TNI yang dilakukan oleh Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa.
Tak hanya PKI, Komnas HAM juga menambahkan keturunan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), serta Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga tidak dilarang untuk mendaftar menjadi calon prajurit TNI.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik.
“Memang tidak ada dasar hukum untuk melarang siapa pun, termasuk keturunan PRRI, Permesta, DI/TII.”
“Termasuk anak keturunan PKI, tidak ada aturan hukum yang melarang mereka,” jelasnya pada Senin (4/4/2022) dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Soal Aturan Keturunan PKI Boleh Daftar TNI, Ini Kata Menko Polhukam Mahfud MD
Baca juga: Survei Indikator: TNI Jadi Institusi dengan Tingkat Kepercayaan Publik Paling Tinggi
Taufan juga mengatakan, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjamin kebebasan bagi semua warga tanpa melihat silsilah atau garis keturunan seseorang.
Ia menyebut jaminan kebebasan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) telah tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Dalam konstitusi, Pasal 28 itu kan ada, misalnya semua orang punya kedudukan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan,” jelas Taufan.
“Kesempatan bagi semua orang untuk mendapat pendidikan, pengembangan diri, mendapatkan pekerjaan, sudah benar,” tambahnya.
Selanjutnya, Taufan juga mendorong agar negara tidak mengucilkan ketika tak sedikit warga yang dianggap “musuh Pancasila” sebetulnya tidak mengetahui terkait pelabelan yang ditujukan kepada mereka.
Ia pun memberikan sebuah cotnoh di mana para petani masa lalu memberikan cap tangan secara sukarela dengan iming-iming soal lahan.
Baca juga: Tak Hanya Monitoring, PBHI Minta Komnas HAM Lakukan Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Hingga ke Akar
Padahal, kata Taufan, pemberian cap tangan tersebut digunakan untuk bukti keanggotaan suatu organisasi yagn belakangan dianggap terlarang.
“Karena dia masuk daftar itu lalu dia dapat KTP yang ada tanda ‘organisasi terlarang’. Lalu anaknya enggak bisa meneruskan pendidikan dengan baik, di sektor-sektor negara, dan selalu dikucilkan oleh masyarakat.”
“Itu sangat mengangkangi hak asasi manusia,” ujarnya.