TRIBUNNEWS.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak sepakat dengan vonis hukuman mati yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada pelaku rudapaksa 13 santriwati, Herry Wirawan.
Komnas HAM menilai vonis mati tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana serupa di masa depan.
Dalam hal ini, pihak Herry masih bisa menolak vonis mati yang dijatuhkan kepadanya, yakni mengajukan kasasi.
Dengan demikian, Komnas HAM meminta agar hakim kasasi Mahkamah Agung mempertimbangkan vonis Herry Wirawan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik.
Baca juga: Anggota DPR: Herry Wirawan Pantas Terima Hukuman Mati Karena Rusak Masa Depan Korbannya
Baca juga: Profil Herri Swantoro, Hakim yang Jatuhkan Vonis Hukuman Mati kepada Herry Wirawan
"Kalau kita lihat kajian-kajian terkait penerapan hukuman mati, tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera, atau pengurangan tindak pidana, baik itu tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme, atau narkoba, atau tindak pidana lainnya."
"Karena itu sekali lagi kita menginginkan adanya satu peninjauan yang sebaik-baiknya dari hakim kasasi nanti."
"Manakala misalnya terpidana mati Herry Wirawan atau pengacaranya mengajukan kasasi," kata Taufan dalam keterangan video, Selasa (5/4/2022), sebagaimana dilansir Kompas.com.
Pihaknya berharap kepada hakim kasasi untuk mempertimbangkan tren global penghapusan hukuman mati secara bertahap apabila nantinya Herry mengajukan kasasi terhadap vonis mati tersebut.
Lebih lanjut, menurutnya, meski dalam RKUHP hukuman mati masih ada, namun hukuman tersebut bukan hukuman yang serta merta.
Hukuman mati dalam RKUHP, kata Taufan, masih memberikan kesempatan kepada terpidana mati untuk dinilai dan dievaluasi dalam satu periode tertentu.
Baca juga: Jadi Sorotan Dunia, Vonis Mati Herry Wirawan setelah Rudapaksa 13 Santriwati
Secara normatif, hukuman mati melanggar hak hidup yang seharusnya dilindungi.
Dalam UUD 1945 pun, menurut Taufan, menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun.
Dengan kata lain, hak hidup merupakan hak asasi yang absolut.
Di samping itu, hukuman mati juga tidak berkorelasi apa pun terhadap upaya pemulihan korban.
"Yang paling penting juga adalah penghormatan terhadap HAM dan perlindungan terhadap korban-korban, rehabilitasi pada mereka. Itu juga perlu dibenahi dalam sistem yang kita punyai selama ini, terutama dalam sistem pendidikan keagamaan," jelas Taufan
Baca juga: Jadi Sorotan Dunia, Vonis Mati Herry Wirawan setelah Rudapaksa 13 Santriwati
Kasus Herry Wirawan Jadi Sorotan Dunia
Diwartakan Tribunnews.com, kasus rudapaksa yang dilakukan Herry ini juga menjadi sorotan dunia.
Kasus yang menggegerkan Indonesia sejak Desember 2021 ini ikut dberitakan oleh media asing.
Setelah mendapat vonis mati, media asing dari berbagai negara turut memberitakan kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan.
Pertama, sorotan kasus ini datang dari media asing, Reuters yang merupakan kantor berita yang berbasis di Inggris.
Reuters menerbitkan artikel tentang kasus ini dengan judul "Guru agama Indonesia dijatuhi hukuman mati karena memperkosa 13 siswa" pada Senin (4/4/2022) sore.
Dalam artikelnya, Reuters menyebut kasus Herry Wirawan telah mengejutkan Indonesia dan menyoroti perlunya melindungi anak-anak dari kekerasan seksual di sekolah pesantren.
Sementara, Ira Mambo, pengacara Herry, menolak berkomentar apakah akan ada banding dengan alasan perlu melihat keputusan penuh dari pengadilan.
Reuters juga menulis Herry telah memerkosa 13 santriwati yang berusia 12-16 tahun dari tahun 2016-2021 hingga 8 korban di antaranya hamil.
Baca juga: Herry Wirawan Divonis Mati, Ridwan Kamil: Semoga Ini Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat
Baca juga: Herry Wirawan Divonis Mati, Ketum PKB: Beri Efek Jera agar Tindakan Serupa Tak Terulang Lagi
"Pejabat Indonesia, termasuk menteri perlindungan anak negara itu juga mendukung seruan untuk hukuman mati, meskipun komisi hak asasi manusia negara itu menentang hukuman mati dan mengatakan itu tidak pantas," tulis Reuters.
Reuters juga menulis, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, memiliki puluhan ribu pondok pesantren dan sekolah agama lainnya.
Kemudian, seringkali sekolah itu menjadi satu-satunya jalan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mengenyam pendidikan.
Selain Reuters, media The Guardian asal Inggris, media South China Morning Post (SCMP) yang berbasis di China dan Channel News Asia (CNA) yang berbasis di Singapura juga memberitakan hal yang sama.
Media CNN dan New York Post (NYPost) yang berbasis di Amerika Serikat juga turut menyoroti kasus Herry Wirawan yang divonis mati ini.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Maliana) (Kompas.com/ Vitorio Mantalaen)