Raja Brawijaya V dianggap tidak mampu melaksanakan tugas kenegaraan dengan baik disebabkan oleh dominasi permaisurinya.
Legenda ini juga menjadi pilihan alur cerita pada seni pertunjukan reog di Ponorogo.
Pada pertunjukan reog versi legenda Suryongalam terdapat 3 peran yang dimainkan, yakni ganongan, jatilan, dan dadak merak.
Kedua legenda tersebut menjadi petunjuk seni reog di Ponorogo sudah ada sejak zaman Hindu-Budha.
Selanjutnya seni reog ini terus dikembangkan hingga periode awal masa islamisasi di tanah Jawa oleh Raja Katong (Bathoro Katong) pada akhir abad XV.
Pada versi ini terdapat 4 peran yang dimodifikasi dari versi Bantarangin, yakni tari kelana, ganongan, jatilan dan dadak merak.
Sebelum Bathoro Katong berkuasa, masyarakat Ponorogo mengenal seni reog sebagai barongan yang menjadi permainan para warok.
2. Reog pada Masa Pasca Kemerdekaan
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, seni pertunjukan reog sempat dibatasi karena untuk menghindari pengumpulan massa yang beresiko munculnya nasionalisme atau pemberontakan.
Setelah Indonesia merdeka, seni reog mulai dipertunjukan secara bebas.
Bahkan, pada masa orde lama (1960) seni reog sering digunakan oleh partai politik sebagai sarana mengumpulkan massa.
Menjelang tahun 1965, muncul beberapa organisasi kesenian, seperti BREN (Barisan Reog Nasional) didirikan oleh Partai Nasional Indonesia dan CAKRA (Cabang Reog Agama) yang didirikan oleh NU.
Pada tahun 1997, pemerintah mengadakan FRN (Festival Reog Nasional) dengan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan kesenian reog agar lebih menasional.
Pelaksanaan FRN dilaksanakan bersama dengan Grebeg Suro/ tahun baru Islam.