Hal senada diungkapkan Titi Anggraini, Wakil Koordinator Perempuan Indonesia.
Proses pengawalan RUU TPKS tidak berhenti sampai pada pengesahan RUU saja.
“Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dikawal realisasinya. Mulai dari memastikan pembentukan peraturan pelaksanaan sebagai turunan UU TPKS,” tutur Titi.
Baca juga: UU TPKS Disahkan, Anggota DPR: Momentum Perlawanan Terhadap Kejahatan Seksual
Dalam catatan Titi, bentuk peraturan pelaksaan sebagai turunan UU TPKS berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan juga Peraturan Presiden.
Untuk PP yang harus segera dikeluarkan Pemerintah adalah aturan tentang sumber, peruntukan, dan pemanfaatan Dana Bantuan Korban; hingga ketentuan penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Selain itu, PP juga mengatur soal Ketentuan tata cara Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan; serta Ketentuan Penyelenggaraan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tambahnya.
Sementara untuk Peraturan Presiden mengatur tentang Pelayanan Terpadu untuk pemulihan setelah proses peradilan.
“Untuk Perpres mengatur lebih lanjut tentang tim terpadu saat, penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di pusat, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, serta mengenai kebijakan nasional tentang pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tegas Titi.
Baca juga: 9 Jenis Kekerasan Seksual yang Diatur dalam UU TPKS: Pelecehan hingga Pemaksaan Perkawinan
Terkait penyusunan aturan turunan UU TPKS, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, memastikan Pemerintah akan bergerak cepat agar UU TPKS aplikatif.
“Semangat antara DPR RI dan Pemerintah dan masyarakat sipil yang harus terus kita ingat agar UU ini nantinya memberikan manfaat ketika diimplementasikan khususnya bagi korban kekerasan seksual,” ujar Bintang.
Bintang memaparkan terobosan dalam UU TPKS, yaitu pengualifikasian jenis tindak pidana seksual beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas menjadi tindak pidana kekerasan seksual, pengaturan hukum acara yang komprehensif, hingga pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, pelindungan dan pemulihan yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.
Selain itu, UU ini juga mengatur tentang pemberian restitusi.
Restitusi akan diberikan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai ganti kerugian bagi korban.
“Kami ucapkan apresiasi dan terimakasih kepada pimpinan, anggota DPR RI, atas segala komitmen, dedikasi, dan perhatiannya dalam menyelesaikan proses pembahasan RUU ini,” tutup Bintang.