TRIBUNNEWS.COM - Bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kartini pada Kamis, 21 April 2022.
RA (Raden Ajeng) Kartini adalah tokoh emansipasi wanita di Indonesia.
Menurut KBBI, emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).
RA Kartini lahir di Mayong pada Senin Pahing, 21 April 1879, sebagai anak ke-4 dari 8 bersaudara.
Ayahnya merupakan Wedono Mayong bernama RMAA Sosroningrat dan Ibunya bernama MA Ngasirah (Garwo Ampil), dikutip dari laman Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara.
Kartini adalah seorang perempuan yang memiliki semangat pendidikan yang tinggi, meski tekadnya untuk belajar ke Belanda harus pupus karena mendapat tentangan dari pemerintah Hindia Belanda.
Untuk lebih mengenal Kartini dan pemikirannya, berikut ini silsilah keluarga Kartini dan cuplikan surat-suratnya.
Baca juga: Sejarah RA Kartini yang Lahir 21 April 1879 dan Perjuangan Emansipasi Wanita di Indonesia
Silsilah Keluarga Kartini
Ayah Kartini, RM Sosroningrat memutuskan menikah dengan Mas Ajeng Ngasirah (Ibu Kandung Kartini) pada 1872.
Mas Ajeng Ngasirah adalah perempuan desa yang memiliki kedudukan terhormat di tengah masyarakat, karena bapaknya menjadi ulama di Desa Teluk Kawur, Jepara.
Perkawinan RM Sosroningrat dengan Mas Ajeng Ngasirah dikaruniai delapan orang anak, yaitu :
1. Raden Mas Slamet lahir 15 Juni 1873.
2. Raden Mas Boesono lahir 11 Mei 1874.
3. Raden Mas Kartono lahir 10 April 1877.
4. Raden Ajeng Kartini lahir 21 April 1879.
5. Raden Ajeng Kardinah lahir 1 Maret 1881.
6. Raden Mas Moeljono lahir 26 Desember 1885.
7. Raden Ajeng Soematri lahir 11 Maret 1888.
8. Raden Mas Rawito lahir 16 Oktober 1892.
Baca juga: TWIBBON Hari Kartini 2022, Lengkap dengan Cara Membuat dan Membagikannya ke Media Sosial
Isi Surat Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang
Berikut ini beberapa isi surat Kartini yang berisi semangat emansipasi wanita, yang dikutip dari buku Sisi Lain Kartini oleh Prof. Dr. Djoko Marihandono, dkk.
1. Surat 1
Saya ini anak bangsa Jawa, dibesarkan dan seumur hidup ini ada di sini. Percayalah bahwa wanita Jawa juga mempunyai hati yang dapat merasakan, dapat menderita, sama dengan hati wanita negeri Nyonya (negeri Belanda) yang paling halus sekalipun...
Tetapi, mereka hanya menderita dengan berdiam diri, mereka menyesuaikan diri, karena tidak berdaya, disebabkan oleh kurang pengetahuan dan kebodohan ...
Orang Belanda suka menertawakan dan mengolok-olok kebodohan bangsa kami, tetapi kalau kami mau belajar, mereka menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami. Kami mau mencapai pengetahuan dan peradaban yang sama dengan orang Eropa. Menghalang-halangi kemajuan rakyat adalah sama dengan perbuatan Casar yang pada satu pihak mengkhotbahkan perdamaian kepada dunia, tetapi pada lain pihak menginjak-injak hak-hak rakyatnya sendiri (surat Kartini untuk nyonya Nellie van Kol, 1 Agustus 1901 dalam Sitisoemandari, 1986:64)
2. Surat 2
Ia pun prihatin atas sikap dan perilaku para Penguasa yang mementingkan diri sendiri:
Rasa setiakawan tidak ada dalam masyarakat bangsa pribumi, maka itu harus dihina dan dibimhing. Kalau tidak, mustahil seluruh rakyat bisa maju. Anggapan kaum ningrat bahwa mereka berhak mendapat segala yang paling baik timbul dari pandangan salah yang telah berakar dalam, bahwa kaum ningrat adalah golongan yang lebih baik, makhluk-makhluk yang tingkatnya lebih tinggi daripada rakyat biasa, dan oleh karena itu berhak atas segala yang terbaik. Untuk membasmi pandangan salah yang menghambat jalannya kemajuan ini lagi-lagi kaum Ibulah yang dapat berjasa sangat banyak (Kartini Sitisoemandari, 1986:155)
3. Surat 3
Kartini pernah merenungkan tentang posisi perempuan dengan laki-laki di Jawa ayng hanya dijadikan obyek kesenangan kaum laki-laki dan diperlakukan seperti boneka.
Saya ingin juga mempunyai anak, laki-laki dan perempuan. Akan saya didik, akan saya bentuk menjadi manusia menurut kehendak hati saya. Pertama-tama akan saya hapuskan adat kebiasaan yang buruk yang lebih menguntungkan anak laki-laki daripada anak perempuan, Kita tidak boleh heran akan sifat laki-laki yang memikirkan dirinya sendiri saja, kalau kita pikirkan bagaimana ia sebagai anak sudah dilebihkan dari pada anak perempuan... Bukankah acapkali saya mendengar ibu-ibu mengatakan kepada anak-anaknya yang Iaki-laki, bila mereka jatuh dan menangis: Cis, anak laki-laki menangis, seperti anak perempuan..Dan semasa kanak-kanak, laki- laki sudah diajar memandang rendah anak perempuan ...
Saya akan mengajar anak-anak saya baik laki-laki maupun perempuan untuk saling memandang sebagai makhluk yang sama (surat Kartini untuk Stella, 23 Agustus 1900)
Baca juga: Contoh Puisi Hari Kartini: Kartiniku Kini, Tanduk Perempuan, Literasi Ubah Negeri, Pesan Pujangga
4. Surat 4
Kalau memang benar pada diri kami ada sifat yang dapat membentuk anak laki-laki yang cakap dan tangkas, mengapa kami tidak boleh menggunakannya untuk meningkatkan diri menjadi wanita yang demikian pula? Dan tidak bergunakah perempuan cakap dalam masyarakat? Kami perempuan Jawa
terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat, yang dapat dibentuk sekehendak hati orang (surat Kartini untuk nyonya M.C.E Ovink- Soer, Agustus
1900)
5. Surat 5
... Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia.
Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata... Dan bagaimanakah ibu-ibu
Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan ? (Kartini dalam surat untuk Nyonya M.C.E. Ovink - Soer, 2 November 1900)
6. Surat 6
Yang dapat dilakukan untuk sementara adalah mendidik sedemikian rupa masyarakat Bumiputra lapisan atas, sehingga mereka menjadi rahmat bagi bawahannya. Rakyat memuja bangsawannya, apa yang asalnya dari bangsawan mudah mereka tiru. Dan itu telah diketahui juga oleh Pemerintah. Tetapi apa yang diperoleh rakyat dari bangsawannya yang dijunjung tinggi, yang dipakai oleh Pemerintah untuk memerintahnya? (Kartini dalam Sulastin, 1986:390)
7. Surat 7
Berilah pendidikan kepada perempuan Jawa, gadis-gadis kami! Didiklah budinya dan cerdaskan pikirannya. Jadikanlah mereka perempuan yang cakap dan berakal, jadikanlah mereka pendidik yang baik untuk keturunan yang akan datang! Dan bila pulau Jawa mempunyai ibuibu yang cakap dan pandai, maka peradaban satu bangsa hanyalah soal waktu saja! (Sulastin, 1986:390)
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Hari Kartini