Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai pola asuh yang buruk merupakan penyebab utama tingginya angka stunting di daerah.
Direktur Program CISDI Egi Abdul Wahid mengatakan penyebab terjadinya stunting di sejumlah daerah didominasi akibat pola asuh yang buruk.
Menurut Egi, pola asuh sangat penting dan berdampak terhadap stunting.
"Menurut kami paling berdampak adalah pola asuh. Ada beberapa daerah yang mungkin secara supply makanannya tidak ada dan biasanya daerah tersebut juga memiliki pola asuh yang buruk," kata Egi kepada wartawan, Rabu (27/4/2022).
Penemuan di lapangan oleh CISDI, ada beberapa daerah atau kelompok keluarga yang secara finansial cukup namun tidak memberikan pola asuh yang baik.
Baca juga: NTB Zona Merah Stunting, Pernikahan Dini Satu di Antara Sekian Penyebabnya
Sehingga sumber daya yang mereka miliki tidak bisa meningkatkan status gizi anak yang kemudian menyebabkan stunting.
"Lalu ada juga daerah yang cukup ketersediaannya, tapi pola asuhnya buruk. Ini rentan stunting. Apalagi daerah yang pola asuhnya buruk dan tidak memiliki persediaan makanan," ucap Egi.
Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), daerah dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Indonesia adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mencapai 48,3 persen.
Pola asuh yang buruk ini juga dipengaruhi oleh letak geografis, seperti daerah-daerah terpencil sehingga warganya mendapatkan informasi dan edukasi mengenai pola asuh yang terbatas.
"Pada sisi edukasi, karena ketersediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan minim dan saat itu belum banyak jaringan internet yang masuk, sehingga masyarakat merasa tidak ada masalah dengan anaknya. Anaknya kurus atau anaknya tidak sesuai tinggi badan di usianya itu mereka anggap biasa atau karena keturunan," jelas Egi.
Egi juga mengatakan bahwa stunting adalah permasalahan yang kompleks.
Selain faktor kesehatan, banyak faktor non-kesehatan yang menyebabkan tingginya kasus stunting di daerah seperti tingkat ekonomi rendah dan ketersediaan bahan pangan.
Menurut Egi dibutuhkan solusi yang melibatkan masyarakat dan sesuai dengan kearifan lokal.
Seperti memberikan pelatihan kepada warga lokal untuk menjadi kader posyandu yang mumpuni sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan baik.
Selain itu, optimalisasi bahan pangan lokal di setiap daerah juga menjadi penting mengingat stunting terjadi karena kurangnya asupan gizi yang cukup.
Salah satu contoh keberhasilan CISDI menerapkan pendekatan ini di daerah Sumbawa NTB, melalui pemanfaatan daun kelor sebagai salah satu upaya untuk mengatasi stunting.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan langkah pertama yang dilakukan untuk mempercepat penurunan stunting di Indonesia berhubungan dengan nutrisi anak.
Baca juga: Kepala BKKBN: 12 Provinsi Jadi Sasaran Guna Kejar Penurunan Stunting 14 Persen di 2024
Langkah itu memastikan mereka mendapatkan asupan protein hewani yang cukup dan terhindar dari penyakit infeksi.
Sejumlah makanan yang diketahui menjadi sumber protein hewani antara lain telur, susu, ikan, daging ayam dan daging sapi.
Di sisi lain, Budi juga memandang penting pemahaman orang tua dalam pencegahan stunting, khususnya pemahaman ibu akan pemberian nutrisi yang tepat bagi anak.
Penyuluhan oleh tenaga medis dibutuhkan dalam membantu orang tua menerapkan pola pengasuhan yang memperhatikan nutrisi bagi anak.
Penanggulangan masalah stunting juga sangat penting didasarkan pada data dan kajian yang komprehensif. Sehingga eksekusi strateginya efektif saat diimplementasikan.