“Apabila pembentukan undang-undang dalam proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat,” jelas petitum tersebut.
Para pemohon juga menilai pembentukan UU IKN tidak memenuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait partisipasi masyarakat secara bermakna dalam pembentukan UU.
Pada putusan itu dikatakan, partisipasi masyarakat secara bermakna adalah hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan.
Para pemohon mengungkapkan, tiga hak itu telah diabaikan oleh DPR dalam proses pembentukan UU IKN.
Sebab, ada pendapat beberapa ahli yang mempersoalkan materi UU IKN. Namun, pendapat itu diabaikan.
Para pemohon menilai pembuat undang-undang hanya menggunakan pendapat ahli untuk memenuhi aspek hak untuk didengarkan pendapatnya.
Baca juga: Kemenag Bantah Isu Menag Minta Dana Haji untuk IKN: Hoaks dan Fitnah, Kami akan Ambil Langkah Hukum!
“Sedangkan kriteria dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan tidak mampu dilakukan pembentuk undang-undang,” imbuh petitum tersebut.
Selain Din dan Azyumardi, dalam permohonan itu ada pula nama Nurhayati Djamas, Didin Damanhuri, Jilal Mardhani, Mas Achmad Daniri, Massa Djafar, Abdurahman Syebubakar, Achmad Nur Hidayat, dan Moch Nadjib. Total pemohon berjumlah 19 orang.