Faktanya, lanjut dia, gubernur definitif sebelumnya berasal dari kalangan sipil dan oke-oke saja menjabat lima tahun.
Ia pun mempertanyakan mengapa ketika diganti penjabat gubernur, yang harus mengisi harus berlatar belakang Polri.
"Kalaupun toh harus diisi dari BIN, apa urgensinya seorang Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah ditunjuk menjadi penjabat Bupati di Seram Barat, yang notabene jauh dari wilayah penugasan definitifnya? Mengapa tidak mengambil dari pejabat pimpinan tinggi pratama lainnya yang bertugas di Jakarta?" kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Kamis (26/5/2022).
Terkait isu prosedural, menurutnya perlu ditelaah juga apakah pengangkatan tersebut sudah sesuai prosedur atau tidak.
Mengambil contoh penunjukan Tanribali Lamo menjadi pejabat Gubernur Sulsel, menurutnya, Brigjen TNI Andi Chandra harus alih status terlebih dulu dari Perwira Tinggi TNI yang ditugaskan di BIN menjadi PNS BIN dengan jabatan Kabinda Sulteng.
Setelah itu, kata dia, baru penunjukkan Andi boleh di-SK-kan sebagai penjabat bupati dan dilantik.
"Kalau belum beres udah dilantik, itu potensi maladministrasi. Juga harus kita lihat, Panglima TNI keluarkan keputusan terkait nggak? Karena dia alihstatus menjadi PNS, mestinya harus dikeluarkan juga dari formasi TNI," kata Fahmi.
Terkait isu kepatutan, lanjut dia, bagaimanapun publik juga masih sulit untuk yakin bahwa pelibatan TNI dan Polri ini selalu didasarkan pada niat baik rezim yang berkuasa.
Apalagi, kata dia, tak ada regulasi yang mengatur pelibatan tersebut secara ketat dan tegas.
Sementara itu, menurutnya rezim sebaik apapun, lanjut dia, usianya paling lama 10 tahun.
Ia berpandangan tidak cukup menggunakan ketentuan-ketentuan terkait mekanisme pengisian jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara yang tersedia saat ini.
Kedudukan Penjabat Kepala Daerah tersebut bukanlah sekadar jabatan pimpinan tinggi madya atau pratama biasa.
Kedudukan mereka, lanjut dia, bisa dibilang nyaris setara dengan kepala daerah definitif yang oleh konstitusi diatur mekanisme pengisiannya harus melalui proses pemilihan umum untuk mendapatkan mandatnya.
Menurutnya tidak fair jika pengisian penjabat kepala daerah kemudian hanya berdasarkan mekanisme dan prosedur administrasi kepegawaian tanpa adanya manifestasi dan representasi legitimasi dan mandat dari rakyat.