Lebih lanjut, Haris menjelaskan, persoalan temuan BPK ini berakar dari adanya 887 kelemahan pada sistem pengendalian internal, 715 ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan 1.241 permalahan yang mencakup efisiensi dan efektivitas.
"Dalam pemeriksaan PC-PEN tersebut, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah terkait serta realisasinya, kemudian pertanggungjawaban, pelaporan PC-PEN, dan manajemen program kegiatan pandemi," kata Haris.
Keempat, masalah kebijakan kartu Pra Kerja yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan.
"Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya," ujar Haris.
Sorotan aspek lainnya adalah pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara.
Pasalnya, metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.
"Ada dua faktor yang menjadi alasan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta," ujar Haris.
Baca juga: Sandiaga Uno Bagikan Tips dan Trik ke Pelaku Ekonomi Kreatif Agar Mudah Tarik Investor
Kelima, adalah persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta.
Tentu, akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan.
"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit," tandas Haris.(*)