TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan akan berkunjung ke dua negara yang tengah terlibat perang, yakni Ukraina dan Rusia pada akhir Juni 2022 ini.
Dalam kunjungannya itu, Presiden Jokowi dikabarkan akan menemui Presiden Ukraina Volodymir Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Adapun agenda Presiden Jokowi menemui kedua pimpinan negara itu adalah mencoba berkontribusi untuk mendorong perdamaian dan sebagai wujud kepedulian terhadap isu kemanusiaan.
Pertemuan bilateral dengan Ukraina dan Rusia merupakan buntut dari undangan Ketua G7 (Jerman) untuk hadir dalam KTT G7 di Elmau pada tanggal 26-27 Juni 2022.
Beberapa negara non-G7 atau disebut G-7 Partner Countries yang mendapatkan undangan untuk hadir dalam KTT G7 adalah Indonesia, India, Senegal, Argentina dan Afrika Selatan.
Baca juga: Amankan Jokowi di Ukraina dan Rusia, Paspampres Bawa Senjata Laras Panjang dengan Amunisi Penuh
Baca juga: Pengamat Menilai Rencana Kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina Belum Terlambat
Dalam rilis pers Kementrian Luar Negeri RI, Jokowi juga akan melakukan pertemuan bilateral dengan para Leaders G7 dan Leaders negara undangan.
"Permintaan pertemuan bilateral banyak sekali diterima presiden dan tentunya semaksimal mungkin akan diatur," ujar Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dikutip dari Kompas.com.
"Dalam G7 Summit for Partner Countries tersebut, salah satu isu yang akan dibahas adalah mengenai masalah pangan. Isu pangan, energi dan keuangan akhir-akhir ini terus menjadi pembicaraan dunia. Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca-Covid-19, terjadi perang di Ukraina, yang dampaknya dirasakan seluruh dunia," tambahnya.
Setelah dari Jerman, Jokowi pun langsung bertolak untuk mengunjungi Ukraina dan Rusia.
Lantas, apa saja fakta menarik dibalik kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia itu?
Kunjungan Pemimpin Asia Pertama sejak Perang
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menuturkan, Presiden Jokowi akan menjadi pemimpin pertama di Asia yang berkunjung ke Ukraina dan Rusia sejak perang.
Menurut Retno, kunjungannya itu menunjukkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan dan mencoba memberikan kontribusi untuk menangani krisis pangan yang diakibatkan perang.
"Dampak perang dirasakan semua negara terutama negara berkembang dan berpendapatan rendah, Indonesia pun harus terus mendorong spirit perdamaian," ungkap Retno.