"Saya anak cowok satu-satunya. Saya lepaskan semua atribut itu. Saya mengenakan training, walaupun saya tidak melanggar betul karena saya memang masih pakai training tapi saya mencangkul dengan bapak saya, menyiapkan untuk ditanami padi, sampai (Taruna) tingkat tiga," kata Wastum.
Tempat tinggal Wastum, dulunya adalah sebuah desa yang sangat terpencil.
Ia mengungkapkan, listrik baru masuk ke desanya ketika ia sudah lulus menjadi penerbang.
Wastum mengungkapkan sebenarnya ia tidak pernah membayangkan akan menjadi penerbang tempur.
Ketika masih menjadi Taruna Akademi Angkatan Udara (AAU), sebenarnya ia lebih condong untuk masuk ke satuan pasukan elit TNI AU Korps Pasukan Khas (Korpaskhas).
Namun demikian, setelah lulus Taruna AAU pada 1996 sebagai peraih Adhi Makayasa (lulusan terbaik) arah hidupnya berubah.
Orang-orang di sekelilingnya mendorongnya untuk menjadi penerbang.
Akhirnya, ia mengikuti tes dan bersyukur lulus dalam tes tersebut.
Setelah lulus tes tersebut, sebenarnya ia hanya ingin menjadi penerbang helikopter karena merasa tidak mampu untuk menjadi penerbang tempur.
Baca juga: Jenderal Andika Perkasa Pimpin Sertijab Kepala BAIS Hingga Kepala Pusat Reformasi dan Birokrasi TNI
Namun demikian, lagi-lagi nasib membawa lulusan terbaik Sekbang A-56 tahun 1998 itu ke jalan lain.
Berdasarkan penilaian bakat dan kemampuan terbangnya ternyata ia dipilih menjadi penerbang tempur untuk menerbangkan F-16.
Ketika itu, kata dia, pesawat tempur F-16 adalah pesawat tercanggih yang dimiliki TNI AU.
"Waktu itu adalah F-16 yang tertinggi, sebelum ada Sukhoi. Tidak semua orang bisa menjajaki atau menerbangkan pesawat F-16 ini, padahal saya dari kampung. Saya waktu itu nyupir mobil pun tidak bisa," kenang Wastum.
Lulusan Terbaik Seskoau A-48 tahun 2011 itu bersyukur karena saat ini telah menjadi seorang jenderal bintang satu berpangkat Marsekal Pertama.