Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi turut merasakan duka dan keprihatinan mendalam atas jatuhnya pesawat latih T-50i Golden Eagle TNI AU di Blora, Jawa Tengah, pada Senin (18/7/2022) malam.
Pesawat tersebut sempat dilaporkan hilang kontak sekira satu jam setelah mengudara dari Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur.
Kebetulan, kata Fahmi, ia sempat melihat dan mendengar gemuruh pesawat tersebut setelah lepas landas dan mengudara di atas Kota Madiun pada malam itu.
"Siapa mengira itu adalah gemuruh dan penerbangan terakhir bagi TT5009 dan sang pilot muda, Letnan Satu Penerbang Allan Syafitra Indera, yang belum lama melepas masa lajangnya," kata Fahmi ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (19/7/2022).
Bagi TNI AU, kata dia, ini adalah insiden ketiga sejak pemerintah mendatangkan 16 unit pesawat hasil kerja sama Korea Selatan dan Amerika Serikat itu, pada kurun waktu 2013 hingga 2014.
Insiden pertama, kata Fahmi, terjadi pada Desember 2015.
Baca juga: TNI AU Kirim Tim untuk Evakuasi Pesawat T-50i Golden Eagle yang Jatuh di Blora
"Sahabat saya, Letkol Marda Sarjono dan Co-Pilotnya, Kapten Dwi Cahyadi, gugur dalam kecelakaan itu," lanjut dia.
Insiden kedua, sambung Fahmi, terjadi pada Agustus 2020.
Pilotnya, kata dia, Letkol Luluk Teguh Prabowo meninggal dunia setelah tiga pekan dirawat akibat tergelincirnya pesawat di Lanud Iswahjudi Madiun.
Setelah insiden kedua, kata Fahmi, 14 pesawat yang tersisa menjalani pemeriksaan dan perawatan untuk memastikan kelaikannya.
Namun, kata dia, sebuah insiden kembali terjadi pada Agustus 2021.
"Sebuah komponen pesawat dilaporkan jatuh pada saat terbang latih di wilayah udara Jawa Timur. Bersyukur, pilot dan pesawat mendarat dengan selamat," kata dia.
Menyusul musibah yang terjadi tadi malam, kata dia, tak ayal spekulasi berkembang mengenai penyebab kecelakaan pesawat yang sedang dalam misi latihan penghadangan taktikal malam hari itu.
Termasuk, lanjut dia, mengenai kondisi pesawat yang baru dioperasikan sekitar sembilan tahun oleh TNI AU.
Namun demikian menurutnya ada banyak faktor penyebab kecelakaan pesawat.
Baca juga: UPDATE Pesawat TNI AU yang Jatuh di Blora: Berikut Spesifikasi Pesawat hingga Kondisi sang Pilot
Dengan demikian, kata dia, usia bukanlah satu-satunya alasan untuk menilai kelaikan.
Di luar kemungkinan human error dalam penerbangan maupun kelalaian dalam persiapan penerbangan, problem cuaca, problem teknis menyangkut mekanik maupun avionik, atau bahkan kelalaian dalam pemeliharaan, lanjut Fahmi, juga sangat mungkin menyebabkan kecelakaan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, tentunya harus menunggu hasil investigasi," kata dia.
Meski selama ini memang kecil peluang informasinya dibuka ke publik, Fahmi berharap pemerintah dapat menggunakan hasil investigasi itu sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam kebijakan yang menyangkut tata kelola alutsista baik soal pengadaan, penggunaan, pemeliharaan maupun pengembangan kapasitas SDM yang terlibat dalam pengelolaannya.
Menurutnya meski soal peremajaan alutsista tetap penting dibahas, mengingat Indonesia telah melakukan kesepakatan pembelian lagi pesawat sejenis dari Korea, hal yang jauh lebih penting adalah memastikan alutsista udara yang sudah dimiliki saat ini selalu dalam kondisi prima, siap terbang dan siap tempur.
Fahmi mengatakan penting bagi Kemhan dan TNI AU untuk menyiapkan postur anggaran yang proporsional untuk perawatan, pemeliharaan dan kapasitas SDM sangat penting dilakukan.
Selain itu, menurutnya penting juga untuk mencegah adanya praktik-praktik yang berpotensi menghadirkan kerugian materiil dan personel dalam penggunaan dan pemeliharaan alutsista.
"Maka yang masuk akal dilakukan kemudian adalah mengalokasikan anggaran yang memadai serta meningkatkan kedisiplinan dalam penggunaan dan pemeliharaan alutsista, sehingga armada selalu dalam kondisi prima, siap siaga dan minim risiko fatal," kata Fahmi.