TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Hukum Tata Negara, Agus Riwanto memberikan pendapatnya terkait lembaga penyelesaian hukum Pemilu di Indonesia.
Agus menilai dalam penyelenggaraan Pemilu, Indonesia terlalu banyak memiliki lembaga penyelesaian hukum pemilu.
Di antaranya ada Bawaslu, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi.
"Di Indonesia itu penyelenggaraan Pemilu itu terlalu banyak lembaga penyelesaian hukum Pemilu. Satu-satunya si dunia. Satu ada Bawaslu, ada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi. Jadi ada lima lembaganya," kata Agus dalam Diskusi Publik Pemilu Serentak 2024 yang ditayangkan di kanal YouTube Tribunnews, Kamis (21/7/2022).
Agus menjelaskan, jika dalam hukum perdata, semakin banyak lembaga penyelesaian hukum yang bisa menyelesaikan masalah perdata maka akan semakin baik.
Karena dapat memunculkan adanya alternative dispute resolution, atau berbagai proses dan teknik penyelesaian sengketa yang dapat digunakan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, dengan bantuan pihak ketiga.
Baca juga: Bawaslu Ingatkan Semua Pihak Tahan Diri Tak Kampanyekan Calon Tertentu di Luar Tahapan Pemilu
"Nah itu bukan buruk ya, kalau di dalam hukum perdata, makin banyak kelembagaan yang bisa menyelesaikan masalah-masalah perdata itu makin baik. Itu disebut dengan alternative dispute resolution. Kan bisa mengunakan mediasi, abritase, musyawarah mufakat, atau apapun. Kalau di hukum perdata itu bagus," terang Agus.
Namun menurut Agus, ketika itu diterapkan dalam penyelesaian masalah politik atau Pemilu maka banyaknya lembaga ini justru tidak menguntungkan.
Justru hanya menguntungkan bagi individu atau pihak yang bermasalah di politik atau Pemilu.
"Nah aspek perdata ini tenyata diambil oleh pembuat undang-undang, dimasukkan dalam penyelesaian masalah politik. Begitu dimasukkan ke dalam masalah politik dalam penyelenggaraan pemilu, lembaganya banyak ternyata tidak menguntungkan."
Baca juga: Lolly Suhenty Paparkan Tantangan Sekaligus Target Bawaslu Menuju Pemilu 2024
"Yang menguntungkan itu justru orang bermasalah, di satu tempat dia bermasalah, dia coba pakai lembaga lain, siapa tahu menang. Disini coba kalah, pindah lagi ke lembaga lain. Ada enggak kasus seperti itu, banyak," imbuhnya.
Agus pun memberikan satu contoh kasus pada mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.
"Contoh kasus pada Oesman Sapta Odang, itu dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPD RI, karena dia ketua partai. Syarat menjadi DPD RI itu harus perorangan, bukan dari partai. Tidak lolos di KPU, dibawa ke Bawaslu dan dinyatakan tidak lolos juga."
"Digugatlah ke MA dan putusan MA menyatakan Oesman Sapta Odang boleh dicalonkan sebagai anggota DPD RI. Dibawa ke MK lagi, lalu dinyatakan tidak boleh, bingung kan mana yang dipakai," ungkap Agus.
Baca juga: Bawaslu Ingatkan KPU agar Masalah Sipol Tak Terulang di Pemilu 2024