Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojuddin Abas, bicara soal dinamika siapa yang akan diusung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) di Pilpres 2024, terlebih ketika Ketum PPP Suharso Monoarfa menyinggung soal kader non parpol untuk posisi cawapres.
Diketahui, KIB yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP, memang saat ini masih belum menyampaikan paslon yang akan mereka usung di Pilpres 2024.
Sirojuddin mengatakan, wajar jika Golkar menyodorkan nama Airlangga Hartarto sebagai calon presiden pada 2024.
Apalagi, hal itu sudah diputuskan dalam forum resmi parpol yakni Rakernas dan Munas.
Sirojuddin mengatakan saat ini kesempatan emas untuk Airlangga untuk bekerja lebih baik. Tujuannya, supaya lebih dikenal dan disukai pemilih.
“Itu dua syarat utama agar dia bisa meningkatkan elektabilitasnya,” ujar Sirojuddin, kepada wartawan, Jumat (22/7/2022).
Baca juga: Politikus Senior PDIP Sentil Etika Politik NasDem Saat Usung Ganjar Pranowo Jadi Bakal Capres 2024
Menurut dia, saat ini memang ada beberapa nama potensial yang sudah beredar, khususnya untuk posisi cawapres.
Mereka di antaranya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Panglima TNI Andika Perkasa dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Jika dipasangkan dengan Airlangga, mereka punya kontribusi yang berbeda. Tergantung pula apakah Airlangga ditempatkan di nomor 1 atau 2,” ujar Sirojuddin.
Dia menekankan, simulasi pasangan Capres/Cawapres tidak hanya ditentukan oleh kualitas pasangan, tetapi juga oleh sejumlah faktor lain seperti konteks makro-politik, ekonomi dan keamanan nasional.
“Juga faktor siapa pasangan yang akan dihadapinya. Sebab, setiap tokoh biasanya memiliki kekuatan basis dukungan yang khas,” tambah dia.
Sirojuddin menyarankan jika ingin menghindari risiko politik identitas, sebaiknya lihat juga rekam jejak calonnya.
“Tetapi itu tidak cukup. Yang lebih penting adalah komitmen kuat dari elite-elite pimpinan partainya untuk tidak menggunakan isu SARA untuk memenangkan kompetisi politik,” ujar dia lagi.
"Jika pimpinan partai tidak punya komitmen kuat untuk menghindari itu, calon tidak akan bisa menahan dorongan pengusungnya untuk menggunakan taktik politik berbasis SARA tersebut," pungkasnya.