TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tersangka dugaan kasus penyelewengan dana donasi Aksi Cepat
Tanggap (ACT) diketahui hanya memakai dana bantuan Boeing atau Boeing Comunity Invesment Found (BCIF) senilai Rp30,8 miliar dari total Rp138 miliar dana disalurkan.
“Didapati fakta juga bahwa ternyata dana sosial Boeing yang digunakan untuk kegiatan pembangunan sarana sosial sesuai proposal ahli waris, berdasarkan hasil audit diduga hanya sebesar Rp30,8 miliar,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Nurul Azizah di Kantor Divisi Humas Polri, Jakarta, Senin (8/8/2022).
Dengan begitu, kata Nurul, dana Boeing yang diselewengkan para tersangka ACT bertambah. Kali ini, jumlahnya telah menyentuh Rp107,3 miliar.
Baca juga: PPATK: Uang Masuk ke ACT Rp1,7 Triliun, Mengalir ke Entitas Pribadi untuk Berobat Hingga Beli Vila
Adapun dana tersebut disalurkan dari Boeing untuk para ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610. Uang itu seharusnya digunakan untuk membuat sejumlah fasilitas kemanusiaan.
“Dari hasil pendalaman penyidik Bareskrim Polri dan tim audit bahwa dana sosial Boeing yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya diduga sebesar Rp 107,3 Miliar,” ujarnya.
Nurul menyampaikan bahwa dana sosial yang diselewengkan para tersangka ACT bertambah dari perkiraan awal. Yakni, perkiraan awal Rp68 miliar menjadi Rp107,3 miliar.
“Dana Sosial Boeing yang diselewengkan pada awalnya berjumlah sekitar Rp40 Miliar, namun setelah dilakukan audit bertambah menjadi Rp68 miliar. Kemudian, pada hari Jumat minggu lalu kembali dilakukan pendalaman dengan hasil pemeriksaan auditor bahwa Dana Sosial Boeing yang diselewengkan bertambah menjadi Rp. 107,3 miliar,” pungkasnya.
Berdasarkan hasil penelusuran dana tersebut di antaranya digunakan, sebagai berikut:
1. Dana pengadaan Armada Rice Truk Rp2.023.757.000,-;
2. Dana pengadaan Armada Program Big Food Bus Rp2.853.347.500,-;
3. Dana pembangan pesantren peradaban Tasikmalaya Rp 8.795.964.700,-;
4. Dana talangan kepada Koperasi Syariah 212 sebesar Rp 10.000.000.000,-;
5. Dana talangan kepada CV CUN Rp 3.050.000.000,-.;
6. Dana talangan kepada PT. MBGS Rp 7.850.000.000,;
7. Dana untuk operasional yayasan yang meliputi gaji, tunjangan, sewa kantor dan pelunasan pembelian kantor dan dana untuk yayasan lain yang terafiliasi ACT.
Sebagai informasi, Bareskrim Polri menetapkan Presiden ACT Ibnu Khajar dan Pendiri ACT Ahyudin sebagai tersangka dugaan kasus penggelapan dana donasi.
Selain mereka, Bareskrim Polri juga menetapkan dua tersangka lain taitu Hariyana Hermain selaku salah satu pembina ACT dan Novariandi Imam Akbari (NIA) selaku Ketua Dewan Pembina ACT.
Baca juga: Terungkap, Ini Rician Dana Korban Lion Air JT-610 Sebesar Rp 68 Miliar yang Diduga Diselewengkan ACT
Keempat tersangka diduga menyelewengkan dana bantuan Boeing terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018 lalu.
Adapun dana BCIF yang disalurkan dari Boeing mencapai Rp138 miliar. Namun belakangan, dana itu mayoritasnya dipergunakan untuk kepentingan pengurus ACT.
Selain itu, ACT juga mengelola donasi masyarakat dengan nilai fantastis. Lembaga filantropi tersebut mengumpulkan donasi hingga Rp2 triliun dalam kurun waktu 15 tahun.
Selanjutnya, ACT diduga memangkas 20 sampai 30 persen dari total uang donasi yang diterima yaitu sekitar Rp450 miliar. Hal itu berdasarkan surat keputusan internal yang dibuat para pengurus.
Dalam kasus ini, 843 rekening yang terkait tersangka kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) diblokir oleh pihak kepolisian. Rekening-rekening itu masih dilakukan pendalaman oleh pihak kepolisian.
Keempatnya pun disangkakan Pasal Tindak Pidana Penggelapan dan/atau Penggelapan Dalam Jabatan dan/atau Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Tindak Pidana Yayasan dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP, lalu Pasal 374 KUHP.
Selain itu, Ibnu Khajar dkk disangkakan Pasal 45 a ayat 1 juncto Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kemudian Pasal 70 ayat 1 dan ayat 2 juncto Pasal 5 Undang-Undang 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, lalu Pasal 3, 4, 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, dan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.
Setengah Dana yang Masuk Mengalir ke Kantong Pribadi
Sebelumnya diberitakan, dari hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dana yang masuk ke rekening milik Yayasan ACT mencapai Rp 1,7 triliun.
Namun, setengahnya justru kemudian mengalir ke kantong pribadi atau entitas yang masih terafiliasi pihak-pihak di ACT.
Nilainya hampir separuh dari dana masuk atau sekitar Rp 850 miliar.
”Jadi PPATK melihat ada Rp 1,7 triliun uang mengalir ke ACT, dan kita melihat lebih dari 50 persennya itu mengalir entitas yang terafiliasi kepada pihak-pihak pribadi,” kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana usai bertemu Menteri Sosial Tri Rismaharini di kantor Kementerian Sosial (Kemensos), Kamis (4/8/2022).
Ivan tidak merinci durasi waktu transaksi ACT yang dipantau PPATK itu.
Ia hanya menyebut bahwa sudah ada 843 rekening terkait ACT yang sudah diblokir.
Termasuk rekening Koperasi Syariah 212 yang diduga turut menerima aliran dana Rp 10 miliar dari ACT.
“Sudah kami blokir. Sudah diblokir,” kata Ivan.
Baca juga: Terima Aliran Dana dari ACT, PPATK Blokir Rekening Koperasi Syariah 212
Terkait entitas yang terafiliasi pengurus ACT, PPATK juga turut memantau.
Menurut Ivan, para pihak itu diduga mempunyai sejumlah usaha yang kemudian menerima dana dari ACT.
Dana itu kemudian diduga dipakai untuk keuntungan pribadi.
”Kelompok-kelompok kegiatan usaha di bawah entitas A ini, itu dimiliki oleh terafiliasi kepada para pemilik di A tadi. Jadi kita melihat ada kepentingan itu buat pembayaran kesehatan, buat pembelian vila, pembelian apa, pembalikan rumah, pembelian aset dan segala macam yang memang tidak diperuntukkan untuk kepentingan sosial," ungkap Ivan.
Yayasan Serupa
Tak hanya ACT, Ivan menyebut ada ratusan yayasan lain yang diduga melakukan modus serupa.
Dalam pantauan PPATK setidaknya ada 176 yayasan lain yang diduga melakukan penyelewengan dana seperti ACT.
”Ada 176 entitas yayasan lainnya yang kemudian kami serahkan kepada Beliau [Menteri Sosial, Tri Rismaharini] untuk diperdalam, selain yang terkait dengan kasus yang sedang marak sekarang yang ditangani oleh teman-teman Bareskrim," kata Ivan.
"Jadi, kita melihat pengelolaan dana itu tidak selalu dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan yang sesungguhnya, sesuai dengan amanat yang disampaikan kepada Kemensos. Kurang lebih seperti itu, ya," ungkap dia, tanpa merinci yayasan-yayasan yang dimaksud.
Ivan mengatakan data entitas tersebut sudah disampaikan ke Kemensos untuk didalami. Data tersebut juga sudah diserahkan kepada penegak hukum terkait.
"Itu sudah kami serahkan ke beberapa penegak hukum yang kemungkinan akan bertambah lagi dengan yayasan-yayasan lainnya," kata Ivan.