News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Enam dari 7 Kejanggalan Dugaan Pelecehan Seksual Putri Candrawathi Diungkap LPSK, Apa Saja?

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase Foto Tribunnews.com: Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, Brigadir J. Enam dari tujuh kejanggalan diungkap LPSK terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri dalam hasil temuan dan rekomendasi Komnas HAM.

Untuk itu, keterangan yang disampaikan Bharada E berimbas pada terbantahkannya skenario yang dibuat Irjen Ferdy Sambo yang awalnya peristiwa itu adalah tembak menembak.

"Iya karena keterangan itu sangat kunci berkat kesaksian dia. Karena itu lah semua skenario berantakan," ujar dia.

Untuk menjaga keterangan tetap dalam koridor kesaksian hukum, LPSK berkomitmen mendampingi Bharada E agar pernyataan-pernyataan tidak berubah.

Baca juga: Kantongi Informasi Soal Motif Pembunuhan Brigadir J, LPSK Sebut Bharada E Beri Banyak Fakta Penting

Bahkan, LPSK akan terus mengawal Elizier sampai nanti proses persidangan dimulai.

"Ini yang harus kita selamatkan keterangan-keterangan Bharada E ini diharapkan sampai akhir persidangan konsisten nggak? Jujur tetap. Kami akan terus dampingi," kata Hasto.

Sebelumnya, Komnas HAM RI mengungkapkan lima poin kesimpulan dari proses pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang HAM terhadap kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara mengungkapkan kesimpulan pertama adalah telah terjadi peristiwa kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri di Duren Tiga Nomor 46 Jakarta Selatan atau rumah dinas Ferdy Sambo.

"Kedua, peristiwa pembunuhan Brigadir J dikategorikan sebagai tindakan Extra Judicial Killing," kata Beka saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Kamis (1/9/2022) lalu.

Ketiga, kata Beka, berdasarkan hasil autopsi pertama dan kedua ditemukan fakta tidak adanya penyiksaan terhadap Brigadir J, melainkan luka tembak.

Keempat, terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Saudari PC (Putri Candrawathi atau istri Ferdy Sambo) di Magelang tanggal 7 Juli 2022.

"Kelima, terjadi Obstruction of Justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J," kata Beka.

Terkini, Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik resmi menyerahkan laporan dan rekomendasi dari pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir Nofriansya Yosua Hutabarat alias Brigadir J kepada jajaran Tim Khusus Polri di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat.

Taufan mengatakan, di dalam laporan dan rekomendasi tersebut juga termuat laporan khusus dari Komnas Perempuan.

Ia menjelaskan Komnas HAM melakukan tugas penyelidikan dan pemantauan dalam kasus tersebut sebagaimana mandat Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Taufan juga mengulas dua kesepakatan awal antara Komnas HAM dan pihak Kepolisian terkait pemantauan dan penyelidikan kasus tersebut.

Pertama, kata dia, adalah kesepakatan untuk keterbukaan dan akuntabilitas. Kedua, lanjut dia, kesepakatan untuk Komnas HAM ini diberikan aksesibilitas.

Komnas HAM, kata dia, tentu saja sebagai lembaga mandiri memberikan laporan pembanding.

Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Polri agar segara menahan Putri Candrawathi yang menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J bersama dengan suaminya Ferdy Sambo.

Baca juga: Terungkap Fakta Baru, Detik-detik Jelang Bharada E Tembak Brigadir J, Ferdy Sambo Sempat Ucapkan Ini

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso mengutarakan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Putri Candrawathi untuk segera ditahan.

Pertama, Putri adalah tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Dalam kasus ini, Putri diduga turut andil dalam melancarkan peristiwa pembunuhan di rumah dinas Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

"Satu, syarat objektif penahanan terpenuhi, terlebih kasus ini adalah kasus pembunuhan berencana dan ibu PC sebagai tersangka pembunuhan berencana," ujar Sugeng.

Sugeng menilai, penyidik wajib menjaga konsistensi penyidikan kasus ini karena Putri dinilai tak kooperatif.

Bahkan, ketika Putri telah ditetapkan sebagai tersangka, maka sudah sepatutnya Putri ditahan untuk kepentingan penyidikan.

"Yang kedua, ibu PC saat ini menurut IPW tidak kooperatif. Terbukti adanya keterangan yang berbeda-beda dengan saksi maupun tersangka lain," kata dia.

"Hal tersebut adalah dapat dikualifikasi ibu PC tidak kooperatif. Salah satu alasan penahanan adalah tidak kooperatif," jelas Sugeng.

Ketiga, Sugeng mengatakan, alasan kemanusiaan yang membuat Putri tak ditahan merupakan tindakan diskriminatif.

Sebab, jika dibandingkan dengan kasus serupa di mana tersangkanya seorang wanita, nyatanya banyak yang harus mendekam di sel tahanan.

"Karena dalam perkara lain, banyak wanita di dalam, kelompok masyarakat bawah tetap ditahan oleh polisi terkait kasus yang menimpa mereka," katanya.

Atas fenomenaini, Sugeng lantas mempertanyakan sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang pernah berujar bahwa hukum tak boleh lagi bersifat tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Ia menagih komitmen itu untuk ditunjukkan dalam pengusutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

"Bahkan IPW mengingatkan Kapolri atas pernyataannya hukum tidak boleh tumpul ke atas tajam ke bawah. Pak Kapolri harus konsisten terkait hal ini," ujar dia.

Sugeng khawatir, sikap Timsus tak menahan Putri meski berstatus tersangka akan ditafsirkan masyarakat sebagai bentuk ketidakkonsisten dalam penyidikan kasus ini.

"Dengan kedudukan ibu PC sebagai pejabat utama Polri, ternyata pernyataan pak Kapolri tidak konsisten. Ketidakkonsistenan Timsus ini menunjukkan perilaku diskriminatif kepada warga lain," kata Sugeng.(Tribun Network/fan/riz/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini