Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Michael Hilman dari Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, angkat suara untuk membantah kabar yang beredar terkait dugaan keterlibatan 4 warga Mimika yang dimutilasi anggota TNI dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Michael Hilman yang sekaligus pendamping dari korban mutilasi, menceritakan kronologis kasus pembunuhan tersebut berdasarkan keterangan dari pihak keluarga pada Konferensi Pers yang diselenggarakan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, Rabu (7/9/2022).
Michael menyayangkan hampir setiap berbagai kasus-kasus persoalan pelanggaran HAM di Papua tidak pernah diselesaikan dengan serius oleh pemerintah Indonesia.
Baca juga: Panglima TNI Buka Kemungkinan Gandeng LPSK dan Komnas HAM terkait Kasus Mutilasi di Papua
Menurutnya kasus mutilasi ini merupakan pembunuhan dengan cara baru terhadap masyarakat Papua.
"Lagi-lagi sekarang kami dihadapkan dengan cara yang baru, dengan pembunuhan, dengan mutilasi. Ini hal baru yang kami orang Papua rasakan, yang selama ini yang selama ini kami tidak pernah," kata Michael.
Ia berujar, memang pernah ada kejadian mutilasi dan pemerkosaan saat kejadian Biak Berdarah di tahun 1998. Akan tetapi baru 2022 kasus mutilasi seperti ini kembali dialami pada korban masyarakat Nduga yang kejadiannya di Mimika.
MIchael menegaskan ini adalah persoalan serius yang ia anggap sebagai pelanggaran berat yang dilakukan oleh aparat negara yaitu TNI Angkatan Darat.
"Perlu dilakukan keseriusan untuk menyikapi kasus ini oleh pemerintah Indonesia," kata MIchael.
Beberapa hal yang lebih membuat prihatin berdasarkan catatan Michael adalah keluarga korban tidak dihadirkan di saat otopsi setelah ditemukan mayat.
Selain itu tidak ada dari pihak Basarnas maupun dari kepolisian Mimika yang membantu keluarga korban untuk mencari 4 korban ini sejak awal.
Baca juga: Kasus Mutilasi Libatkan 6 Anggota TNI di Mimika, Pangdam Sebut Aktor Intelektualnya Masih Buron
Sampai pada akhirnya ada warga Kamoro menemukan satu korban, kemudian keluarga korban melakukan aksi setelah menemukan 2 mayat, barulah polisi mau bergerak.
"Jadi ada di media yang memberitakan soal tanggal 27 dan 29 itu, dua mayat yang ditemukan oleh kepolisian itu adalah hoaks. Yang sesungguhnya ditemukan dengan peralatan apa adanya oleh keluarga," kata Michael.
Kemudian beberapa korban sampai saat ini kepalanya masih belum ditemukan. Juga ada beberapa kaki korban yang belum ditemukan hingga saat ini.
Dari hasil rekonstruksi, pembunuhan di duga itu dilakukan Itu di depan mushola, yang seolah-olah ada yang mau menciptakan konflik horizontal diantara masyarakat.
"Sampai saat ini kepalanya itu masih belum ditemukan dari 4 korban. Pelaku sudah dihadirkan dalam rekonstruksi, namun mereka tidak bisa menjelaskan dimana kepala dari 4 korban itu mereka itu berada. Artinya mereka itu bukan langsung dimutilasi tapi ditembak kepalanya dulu, dihancurkan, kemudian mereka dimutilasi, itu masih dugaan dari keluarga sementara ya," kata Michael.
Berikutnya ada 2 korban lagi, yang dari hasil rekonstruksi juga, para korban dibawa masuk ke dalam markas, lalu dibawa keluar dengan mobil.
Dari rekonstruksi tersebut ada dugaan 2 dari korban dibunuh di dalam pos TNI dan satu orang dibunuh di depan mushola.
Michael juga menegaskan terkait dengan dugaan yang diberitakan bahwa salah satunya adalah berafiliasi pada Tentara Pertahanan Nasional - Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) itu adalah tidak benar.
Keluarga maupun Bupati Kabupaten Nduga pun sudah mengkonfirmasi bahwa 4 korban adalah masyarakat sipil biasa. Mereka bukan berafiliasi untuk membeli senjata terhadap OPM.
"Sehingga di awal diberitakan media tidak terlebih dahulu dikonfirmasi keluarga, (tidak dikonfirmasi) baik ke Bupati maupun keluarga korban, langsung diberitakan. Jadi itu tidak benar," tegasnya.