“Apakah dimungkinkan tingkat otonomi di provinsi adalah kota/kabupaten. Karena ini juga menyangkut sistem ketetanegaraan kita dan sistem pemilu dan demokrasi kita,” lanjutnya.
Djarot mencontohkan Provinsi DKI Jakarta di dalam Undang-Undang pilkada hanya ada pemilihan di tingkat Provinsi.
Sedangkan pemilihan walikota dan bupati dipilih lewat mekanisme lelang jabatan.
Baca juga: MPR Tegaskan Tak Pernah Bahas atau Kaji Masa Jabatan Presiden Tiga Periode
Hal ini karena otonomi di tingkat provinsi tidak ada pemilihan langsung walikota dan bupati.
“Kemudian sekarang bagaimana dengan daerah-daerah? Misalkan daerah otonomi baru (DOB). Artinya kita perlu mengkaji mana daerah yang betul-betul siap untuk pilkada secara langsung dan mana yang cukup dipilih melalui DPRD,” jelas dia.
Selain itu kata dia, dampak dari pilkada langsung adalah biaya politik yang tinggi.
Sementara dampak negatifnya adalah banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi lantaran banyak dimodali para pemodal saat berkampanye.
Namun, Djarot mengatakan bahwa opsi Pilkada asimetris tidak mungkin diterapkan untuk pemilu 2024 lantaran selain tak ada revisi UU Pemilu, Pilkada Serentak juga sudah dipastikan terjadi.
“Bagaimana rekomendasinya nanti kami akan sampaikan ke KPU. Mudah-mudahan tahun ini sudah selesai, karena 2024 itu pilkada serentak,” kata Djarot.