News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

8 Temuan KontraS Soal Kasus Mutilasi 4 Warga di Papua, Satu Korban Masih Anak-anak

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar bersama pendamping keluarga korban, Michael Himan, saat konferensi pers di kantor KontraS Jakarta Pusat pada Jumat (23/9/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan delapan temuan fakta berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan terhadap kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga di Kabupaten Mimika Papua.

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menjelaskan investigasi tersebut didasarkan pada keterangan sejumlah pihak.

Diantaranya keluarga korban serta melakukan konfirmasi secara langsung ke Kasat Reskrim Polres Mimika, Penyidik Subdenpom XVII/C Mimika, dan pihak RSUD Mimika.

Setidaknya terdapat delapan temuan fakta yang didapatkan KontraS dari investigasi tersebut.

Baca juga: Kecam Mutilasi 4 Warga di Papua, Komnas HAM Setuju dengan KSAD agar Pelaku Oknum TNI Dipecat

Pertama, tuduhan bahwa keempat korban terlibat gerakan separatis tidak terbukti.

Hal tersebut, kata Rivanlee, bertolak belakang dengan kesaksian keluarga yang disertai bukti pendukung.

AL misalnya, lanjut dia, merupakan pengurus gereja yang juga ditunjuk sebagai panitia pembangunan gereja.

Sedangkan korban IN merupakan pejabat aktif kepala Desa Kampung Yunat sekaligus pengurus gereja di Kenyam, Nduga.

Selain itu, kata dia, Korban LN yang beraktivitas sehari-hari sebagai sopir perahu yang stand by menunggu pesanan antar-jemput dari Nduga-Jita-Timika.

Sedangkan AT, kata dia, merupakan seorang anak yang sering membantu pamannya bertani dengan bercocok tanam.

Hal tersebut disampaikannya saat konferensi pers di kantor KontraS Jakarta Pusat pada Jumat (23/9/2022).

"Kedua, salah satu korban pembunuhan dan mutilasi masih berusia anak. Hal tersebut dibuktikan dengan data administrasi kependudukan berupa kartu keluarga yang menyatakan bahwa korban JT (AT) yang masih berusia 17 tahun," kata Rivanlee.

Ketiga, lanjut dia, tersangka militer dan sipil diduga menjalin hubungan bisnis.

Mulanya, kata dia, pelaku sipil dengan inisial J merupakan pelatih gym di pusat kebugaran Markas Komando Brigif Raider 20/IJK Kostrad.

Para pelaku, lanjut dia, diketahui kerap berkumpul di gudang milik J.

"Informasi yang diperoleh dari warga sekitar lokasi gudang, pernah melihat mobil masuk membawa BBM jenis solar. Para tersangka dari militer tidak hanya mengetahui aktivitas J tersebut namun patut diduga turut terlibat," kata dia.

Keempat, lanjut dia, minim bukti soal jual beli senjata.

Tuduhan sedari awal yang dilakukan aparat, kata dia, salah satunya menggiring opini bahwa korban terlibat dalam jual beli senjata.

Persoalannya, kata dia, yakni bahwa barang bukti senjata api laras panjang rakitan tidak dalam penguasaan penyidik Satreskrim maupun Subdenpom XVII/C Mimika.

Kedua institusi tersebut, lanjut dia, menyatakan bahwa senjata yang dimaksud telah dibuang di sungai Pigapu bersamaan dengan pembuangan jenazah para korban.

Kelima, kata dia, seluruh jenazah korban ditemukan dengan kondisi tidak lengkap dan sejumlah potongan tubuh seperti kepala, tangan, dan kaki belum ditemukan hingga saat ini.

"Kami menduga bahwa mutilasi adalah bagian akhir dari proses pembunuhan tersebut. Ada dugaan lain yang memungkinkan bahwa potongan tubuh belum ditemukan hingga sekarang, seperti penembakan di bagian kepala," kata dia.

Keenam, lanjut dia, terdapat upaya menghilangkan barang bukti dan lari dari pertanggungjawaban pidana.

Bahwa setelah rangkaian pembunuhan yang dilakukan, kata dia, para tersangka melakukan mutilasi terhadap korban, membuang jenazahnya ke sungai hingga membakar mobil sewaan korban.

Selain itu, kata dia, unsur negara juga tidak dalam upaya pencarian jenazah.

Bahwa sejak pertama kali jenazah ditemukan pada 26 Agustus 2022 yang terkonfirmasi merupakan korban AL, kata dia, keluarga langsung meminta pertolong pencarian ke Polres dan kantor SAR Mimika.

Sayangnya, lanjut dia, pihak keluarga tidak mendapat tanggapan sehingga membuat keluarga melakukan pencarian mandiri.

"Hal tersebut membuat proses pencarian potongan tubuh jenazah semakin sulit, sebab telah dibiarkan berhari-hari," kata Rivanlee.

Ketujuh, kata dia, dugaan ada pelanggaran prosedur dalam proses autopsi.

Bahwa proses autopsi terhadap keempat jenazah korban dilakukan atas permintaan penyidik Reskrim Polres Mimika tanpa pernah diberitahukan kepada keluarga.

Kedelapan, kata dia, tidak ada agenda pemulihan yang terencana.

Sejak peristiwa pembunuhan dan mutilasi tersebut terungkap, kata dia, keluarga korban tidak pernah sekalipun diajak berdiskusi terkait dengan agenda reparasi terhadap kerugian yang diderita keluarga korban.

"Institusi negara yang berwenang seperti halnya LPSK semacam tak punya itikad baik untuk menyembuhkan atau meringankan beban penderitaan yang dialami keluarga empat korban pembunuhan serta mutilasi," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini