“Ada Asas Hukum “Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan”, Hukum tertulis itu sering tertinggal dari fakta peristiwanya. KUHP ini usianya sudah lebih 107 tahun,” ujarnya.
Ketiga, secara politik hukum, KUHP (WvS), tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Indonesia, yaitu Pancasila. Serta keempat adalah RUU KUHP merupakan perwujudan reformasi sistem hukum pidana nasional yang menyeluruh berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa dan HAM secara universal.
Senada dengan Prof. Benny, Pakar Hukum Pidana Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda, S.H., M.Hum., Ph.D., mengatakan ada tiga alasan penting sehingga dirinya berharap DPR RI bisa segera mengetok palu pengesahannya menjadi Undang-Undang.
Baca juga: Bunyi Pasal 340 KUHP yang Jerat Tersangka Baru Kasus Kematian Brigadir J
Pertama, secara politis bangsa yang merdeka seperti Indonesia wajib memiliki produk hukum sendiri, dan bukan warisan kolonial Belanda. Kedua yakni kepraktisan.
“Saat ini penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi masih menggunakan terjemahan KUHP yang teks aslinya saja masih bahasa belanda sehingga ada penafsiran berbeda,” katanya.
Ketiga, kata Gede, KUHP yang saat ini berlaku isinya adalah sebagian besar pembalasan. Padahal dalam hukum pidana modern mengarah pada keadilan rehabilitatif dan restoratif.
Sementara Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. pada sesi selanjutnya lebih mengulas 14 isu krusial dalam RUU KUHP. Secara khusus Ia menyoroti pasal terkait pidana mati yang diatur dalam pasal 67 dan 100 RUU KUHP, yang masih menimbulkan pro dan kontra.