Jatmiko Bambang Supeno, asisten manajer saat itu mengatakan ada banyak orang di bar saat tragedi yang terbakar.
Ledakan dari tangki bahan bakar kendaraan membuat api berkobar.
"Saya tidak pernah bisa melupakan malam itu. (Saya ingat) suara orang menangis dan berteriak 'Tolong saya! Tolong saya!'," kata Agus Bambang Priyanto yang saat itu menjadi relawan Palang Merah.
Dengan api di Legian yang masih berkobar, Priyanto dan para relawa lainnya hanya bisa merawat mereka yang berhasil keluar dari kobaran api.
Saat itu pukul 02.00 ketika petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api.
"Beberapa korban tewas terbakar habis hingga tak bisa dikenali lagi," kata Priyanto.
"Beberapa direduksi menjadi kerangka sementara sisanya (mayat) benar-benar dibakar. Kami menemukan anggota badan. Kami menemukan kepala yang terpenggal," lanjutnya.
Berjarak 6 kilometer, di RSUP Sanglah, petugas medis dibanjiri ratusan pasien yang datang.
Baca juga: Napiter Bom Bali Umar Patek Dapat Remisi, Kepala BNPT Ungkap Alasannya
"Unit darurat itu seperti pasar. Dalam 20 menit, kami kehabisan cairan infus karena pasien banyak sekali," kata I Gusti Lanang Made Rudiartha, direktur RS saat itu.
"Kamar mayat saya hanya bisa menampung 10 mayat. Jadi ada kantong mayat tergeletak di lorong kami. Kami memiliki begitu banyak pasien yang harus dirawat, kami hanya punya waktu untuk memikirkan apa yang harus dilakukan dengan (mayat) pada hari berikutnya."
Beberapa mayat begitu hangus, tim forensik butuh enam bulan sebelum mereka berhasil mengidentifikasi semua 202 korban.
Istri korban, Nyoman Rencini mengatakan butuh waktu tiga bulan sebelum jenazah suaminya, Ketut Sumerawat, diidentifikasi melalui pencocokan DNA.
Bagi banyak orang yang melarikan diri, trauma psikologis tetap ada.
"Trauma yang tidak kunjung sembuh adalah setiap kali saya terjebak macet," kata Putra, pria yang terjebak di dalam mobilnya di luar Sari Club.