Pada tanggal 17 Oktober 2022, kata Anam, sebanyak tujuh personel kepolisian dari Polda Jawa Timur dan Polres Malang kembali mendatangi rumah Athok.
Mereka, kata Anam, didampingi oleh Kades, Camat, dan perangkat pemerintahan setempat lain.
Saat itu, kata dia, Athok lagi-lagi coba menghubungi pendampingnya.
"Dia hubungi pendamping dan lain sebagainya juga tidak ada secara langsung, tidak datang ke situ, dia juga khawatir di soal itu," kata Anam.
Anam mengatakan, di hari yang sama keluarga Athok kemudian berembuk perihal kelanjutan proses ekshumasi atau autopsi tersebut.
Berdasarkan keputusan rapat atau rembukan tersebut, kata Anam, akhirnya keluarga Athok memutuskan untuk tidak melakukan ekshumasi atau autopsi kedua anaknya.
Satu di antara pertimbangannya, kata Anam, kondisi ibu Athok yang sudah berusia lanjut merasa khawatir.
"Makanya di tanggal 17 itu ada surat pernyataan intinya untuk membatalkan proses autopsi (ekshumasi)," kata Anam.
"Kita tanya bagaimana proses pembatalan itu? Apakah ada paksaan pembatalannya? Bagaimana proses membuat surat pernyataan itu? Ketika kita tanya, intinya Pak Devi Athok mengatakan bahwa keputusan secara substansi keputusan untuk membatalkan itu adalah keputusan keluarga, di samping itu juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sudah sepuh, sudah tua," lanjut Anam.
Athok, kata Anam, menulis tangan surat penolakan tersebut.
Ketika membuat surat tersebut, kata Anam, Athok didampingi pihak kepolisian dan disaksikan perangkat desa.
"Apakah itu diintimidasi untuk melakukan membuat surat penolakan? Itu tidak ada, karena itu keputusan keluarga katanya dan mempertimbangkan kondisi ibunya jadi dia tidak mendapatkan itu (intimidasi)," kata Anam.
"Proses tanggal 11, 12, 17 itu tidak ada pendampingan, itu juga buat dia khawatir. Makanya ada surat tanghal 17 dia melakukan pembatalan itu," sambung dia.