TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia melihat ada lima potensi maladministrasi yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kasus gagal ginjal akut.
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan adanya dugaan maladministrasi itu terjadi pada fase pre market atau sebelum didistribusikan hingga post market atau setelah produk beredar.
“Bentuk-bentuk maladministrasi yang dilakukan Badan POM adalah pertama, Ombudsman melihat bahwa Badan POM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang dijuji oleh perusahaan farmasi,” kata Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (25/10/2022).
Robert mengatakan, dengan mekanisme uji mandiri itu memungkinkan perusahaan melakukan pengujian produk tanpa kontrol dari BPOM.
Sebab pengujian mandiri, kata dia, mencerminkan seolah-olah negara memberikan kewenangan dalam menguji produk kepada masing-masing perusahaan.
Tak hanya itu, Badan POM terkesan pasif dalam merespons dengan adanya mekanisme uji mandiri produk tersebut.
“Yang kami minta sesungguhnya adalah kontrol harus dilakukan secara aktif. Bahkan pada tingkat tertentu diambil sampling atau random di mana Badan POM yang melakukan uji atas produk yang dihasilkan perusahaan,” ujarnya.
“Jadi jangan kemudian kewenangan negara itu diberikan sepenuhnya kepada pasar, kepada perusahaan farmasi,” lanjut dia.
Kemudian yang kedua, maladministrasi terlihat dari adanya kesenjangan antara standarisasi yang diatur BPOM dengan implementasi di lapangan.
Baca juga: Ombudsman Temukan Tiga Potensi Maladministrasi Kemenkes Kasus Gagal Ginjal Akut, Ini Penjelasannya
Robert menyebut ada pelampauan ambang batas atas kandungan senyawa yang ada dalam produk yang dikeluarkan oleh perusahaan.
“Standarisasinya itu tidak terjaga dengan baik oleh para produsen atau perusahaan farmasi,” ucap dia.
“Dan Badan POM tampaknya juga tidak melakukan kontrol yang ketat atas pelampauan ambang batas kandungan senyawa berbahaya yang ada pada produk,” sambung Robert.
Selanjutnya yang ketiga, Ombudsman melihat adanya potensi maladmnisitrasi dengan tidak maksimalnya proses verifikasi dan validasi sebelum diterbitkannya izin edar produk pada fase pre market.
Sementara pada fase post market, kata Robert, Ombudsman pun menemukan belum adanya pengawasan pasca-peredaran produk yang optimal.