Setelah kematian Mallaby, pihak Inggris mendatangkan pasukan baru di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Mansergh.
Pada 8 November 1945, pihaknya mengirim surat berupa ancaman serius dari pihak sekutu yang berniat menggempur seluruh Surabaya.
Surat-surat tersebut kemudian dibalas Soeryo pada 9 November 1945, akan tetapi tidak sampai kepada sekutu.
Hal itu mendorong sekutu untuk mengeluarkan ultimatum yang isinya memerintahkan orang-orang Indonesia untuk meletakkan bendera Merah Putih di atas tanah dan para pemuda harus menghadap sambil angkat tangan.
Tak hanya itu, Indonesia juga dituntut untuk bersedia menandatangani surat menyerah tanpa syarat.
Mansergh saat itu menginstruksikan agar wanita dan anak-anak wajib meninggalkan kota Surabaya sebelum pukul 19.00 WIB malam.
Para pribumi diberi ancaman hukuman mati apabila masih membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
Pihak Indonesia merasa tidak terima dengan ultimatum yang diberikan oleh Mansergh karena dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat dan harga diri bangsa Indonesia.
Ultimatum itu sama sekali tidak dihiraukan rakyat Surabaya sehingga pecahlah Pertempuran Surabaya.
Keesokan harinya, 10 November 1945 sejak pukul 06.00 WIB, Inggris melakukan serangan atas kota Surabaya.
Bung Tomo dan arek-arek Surabaya menyemangati rakyat untuk melawan penyerbuan sekutu.
Pemuda Indonesia yang membawa bendera Merah Putih dalam berperang tetap semangat di bawah pimpinan Soengkono yang saat itu menjadi Komandan Pertahanan.
Para pemuda saat itu menghadapi sekutu menggunakan senjata bambu runcing dan belati ketika bergerak menyerang tank-tank Sherman milik sekutu.
Akibat dari pertempuran itu, sebanyak 6 ribu rakyat Surabaya harus gugur dan yang lainnya mengungsi.