Ada juga kata dia, teori desistensi dari terorisme untuk mengkaji bagaimana seseorang bisa lepas dari jerat teror dan ismenya.
Ardi menjelaskan, desistensi melihat multifaktor, tentang potensi seseorang untuk berhenti menjadi pelaku teror.
Faktor tersebut terdiri atas tiga kanal, kanal pertama memuat parameter kebutuhan dasar (needs), narasi dan jaringannya (networks).
"Maka peristiwa ini menjadi titik balik kita untuk lebih aware terhadap aksi terorisme. Ada banyak yang harus dilakukan," jelas dia.
Baca juga: Aipda Sopyan, Polisi yang Gugur Akibat Ledakan Bom Bunuh Diri di Mapolsek Astana Anyar Dimakamkan
Di antaranya menurut Ardi, aparat penegak hukum supaya memperkuat keamanan wilayah atau kantor (target hardening).
Karena peristiwa semacam ini, ungkap Ardi, dapat menjadi detonasi terjadinya aksi serupa di wilayah-wilayah lain.
"Kemudian untuk stakeholder yang membidangi intervensi pelaku teror, supaya lebih tajam dalam mengidentifikasi permasalahan ideologis, selain itu program intervensi yang diberikan harus tepat pada kebutuhan para sasaran program," paparnya.
"Terorisme adalah fenomena nyata. Terorisme bukanlah konspirasi dan buatan dari aparat, melainkan merupakan permasalahan sosial yang selalu ada dalam setiap era dan setiap masa," kata dia.
Program Deradikalisasi BNPT Dinilai Gagal
Sementara itu pengamat terorisme lainnya dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, menyoroti program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) gagal total.
Hal itu merespons aksi bom bunuh diri di kantor Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar).
Sebab, pelaku bernama Agus Sujatno alias Agus Muslim disebut mantan narapidana kasus bom Cicendo, Jawa Barat, dan telah dihukum penjara selama empat tahun di Nusakambangan.
"Ini artinya adalah bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT gagal total," kata Chaidar saat dihubungi, Rabu (7/12/2022).
Chaidar menegaskan harusnya BNPT lebih fleksibel dalam menerima ide-ide baru seperti program kontra wacana.