Pasal ini merupakan representasi dari beberapa nilai dalam masyarakat yang melihat perbuatan ini sebagai hal melawan hukum atau kejahatan terhadap lembaga perkawinan maupun kejahatan materiil yang dapat merugikan pihak lain maupun masyarakat secara umum.
Hal diatas adalah pendapat dari berbagai Fraksi, para ahli, dan Pemerintah. Perdebatan panjang terjadi dan dicari jalan tengahnya.
"Saya pribadi setelah mendapat penjelasan dan data tersebut, melihat bahwa pasal ini terjadi sebagai jalan tengah dari seluruh kepentingan para pihak yang menginginkan hal yang berbeda-beda," tutur Sudirta.
Namun lebih dari itu, lanjut dia, pasal ini perlu ada sebagai harmonisasi terhadap UU Perkawinan (tujuan dan filosofi lembaga perkawinan) dan norma lain yang hidup dalam tata kehidupan bangsa Indonesia.
"Kita juga harus secara bijaksana melihat berbagai fenomena permasalahan di masyarakat seperti persekusi (pengarakan oleh masyarakat untuk menimbulkan malu), kawin kontrak yang sering merugikan WNI, dan fenomena lain yang dapat merusak keharmonisan kehidupan bangsa Indonesia," kata Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Namun, ucap Sudirta, pengaturannya harus dilakukan secara ketat dan terbatas mengingat dalam hal ini Negara masuk dalam ruang privat sehingga membutuhkan aturan yang jelas dan ketat.
"Adapun jika adat istiadat atau norma adat dari daerah tertentu mengatur berbeda tentu dapat mengesampingkan pasal tersebut secara restoratif, yang dimungkinkan dalam KUHP. Namun tetap dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan tujuan dan filosofi negara Hukum," lanjut Sudirta.
Sudirta menegaskan bahwa melihat perkembangan dari masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional yang heboh dan merasa takut akan pemberitaan mengenai pasal tersebut adalah wajar mengingat masyarakat belum sepenuhnya tersosialisasikan tentang pelaksanaan dan makna filosofi pasal tersebut.
"Kami dengan sangat terbuka akan menerima seluruh masukan dari masyarakat baik di dalam maupun luar negeri, mengingat KUHP baru akan berlaku pada 2025 dan terbuka pada seluruh kemungkinan seperti uji materi maupun perubahan UU. Masa transisi tersebut tentu akan menjadi kesempatan untuk melakukan sosialisasi dan pengujian oleh masyarakat maupun mekanisme hukum formil," imbuhnya.
Dalam hal ini, akibat belum maksimalnya sosialisasi, mengakibatkan Provinsi Bali tentu akan terdampak.
Namun, Sudirta menghimbau kepada seluruh pihak dan media massa (baik nasional maupun internasional) untuk secara bijak dan seimbang memberikan informasi atau pemberitaan yang komprehensif kepada masyarakat.
"Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang justru merugikan semua pihak dan berkesan seperti ada kepentingan terselubung untuk mencoba mengalihkan tujuan pariwisata Bali sebagai salah satu destinasi wisata dunia dan merugikan masyarakat di Bali," jelas Sudirta.